The Last Day

160 12 0
                                    

"Thomas!"
Thomas menoleh ke belakang. Dengan mendengar suranya saja, ia tahu siapa yang memanggilnya.
Coliee berlari ke arah Thomas. Rambut hitam panjangnya berantakan karena berlari.
"Ini...." dengan nafas yang masih terengah-engah, Coliee menyodorkan sebuah kotak bekal.
"Ayo makan siang!" Coliee tersenyum.
"Kau mencariku hanya untuk memintaku menemanimu makan?"
Coliee menggeleng.
"Ini untukmu, aku yang membuatnya.."
"Lalu kau?"
"Ada di dalam tas..., ayo!"
Thomas tertawa kecil.
"Ayo" Thomas mengacak rambut Coliee.

Mereka berjalan menuju atap gedung sekolah. Tempat yang sangat sempurna untuk makan siang. Setidaknya bagi Coliee dan Thomas.
Thomas menggelar tikar. Coliee menyiapkan makan siang mereka. Ini bukan sebuah acara khusus. Setiap hari mereka memang selalu menghabiskan jam makan siang dengan cara seperti ini. Mereka menyebutnya 'Piknik Kecil'.
Setelah semua tertata, mereka berdua duduk dan mulai bersiap menyantap bekal mereka.
"Apa yang kau buat?"
"Buka saja kotak bekalmu...,"
Thomas membuka kotak bekalnya,
"Sandwich tuna, beberapa potong bacon..., telur, dan...... Sayuran." Thomas tersenyum. Ia tahu Coliee tidak terlalu baik dalam hal memasak. Membuat bekal sederhana seperti ini, Coliee pasti sudah berusaha dengan keras.
"Kau tidak menambahkan racun ke dalam kotak bekalku kan?" Thomas menyenggol bahu Coliee.
Coliee melirik tajam ke arah Thomas.
"Bagaimana kau tau kalau aku memasukkan racun ke dalam kotak bekalmu?" Coliee memasang ekspresi terkejut.
"Apa?? Kau benar-benar melakukannya?" Thomas terbelalak.
Tatapan tajam Coliee berubah menjadi tawa.
"Hahaha.....! Tidak, tidak... Mana mungkin aku meracunimu? Kalau kau mati siapa yang akan menemaniku makan siang? Hanya kau orang selain keluargaku yang tau seberapa banyak porsi makan siangku. Kalau aku mengajak orang lain,mungkin mereka akan kabur dan berpikir kalau aku ini monster....!" sambil tertawa Coliee berbicara panjang lebar.
Selama mereka makan, diam-diam Thomas terus memperhatikan Coliee. Ada perasaan aneh yang mengganjal dadanya. Lalu, entah apa yang sedang berada di benak Thomas, Ia mengeluarkan pertanyaan yang sama sekali tak pernah keluar dari mulutnya.
"Lalu,bagaimana kalau aku benar-benar mati?" tanya Thomas dengan wajah serius.
Coliee terdiam, beberapa detik kemudian ia kembali tertawa.
"Kalau kau mati? Tidak, aku yang akan mati terlebih dahulu...." kata-kata itu meluncur ringan dari mulut Coliee yang masih belum berhenti tertawa.

Bel tanda pulang berbunyi. Cepat-cepat Thomas memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan segera keluar kelas. Dengan sedikit berlari, Thomas menuju ke kelas Coliee.
"Kau menjemputku? " Coliee tertawa senang.
"Ayo cepat pulang....," Thomas menarik tangan Coliee.
"Iya, iya..."

Sepanjang perjalanan pulang, Thomas mendengar Coliee menggerutu pelan.
"Ini menyebalkan,"
"Apa?"
"Menyebalkan"
"Siapa? Aku?" Thomas menyeritkan dahinya. Ia tak mengerti apa yang sedang Coliee bicarakan.
"Tidak, bukan kau..."
"Lalu?"
"Sebelumnya kita selalu satu kelas, rumah kita juga bersebelahan, tapi sekarang..."
"Ya ampun, kau memang pindah rumah, tapi jarak rumah kita hanya satu blok. Kelas kita hanya berjarak lima kelas, masih di lantai yang sama,"
"Tapi aku merasa sangat bosan di kelas..."
Thomas hanya tersenyum. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama. Selama enam belas tahun, mereka seperti tak terpisahkan. Mereka lahir di hari yang sama, rumah mereka bersebelahan, mereka bahkan selalu satu kelas. Tapi tahun lalu, Coliee pindah rumah. Tak jauh memang. Akan tetapi Thomas merasa begitu jauh.
Selama perjalanan mereka terus mengeluhkan sesuatu. Itu sedikit meringankan beban mereka.
Tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah Coliee.
"Kau mau mampir?"
"Tidak..., ini sudah sore. Ibu pasti menungguku..."
"Ayolah..., sebentar saja... Bagaimana dengan teh?"
Thomas terkekeh. "Baiklah.."
Coliee tersenyum lebar. Ia mendorong punggung Thomas.
"Ayo cepat masuk!"
"Iya iya... Kau tak perlu mendorongku begitu...."
Sesampainya di depan pintu, dengan sigap Thomas membukakan pintu untuk Coliee. Ia menirukan gaya seorang pangeran yang membukakan pintu bagi sang putri.
"Silahkan masuk, tuan puteri..." kata Thomas sambil sedikit membungkukkan badannya.
Coliee tertawa.
"Apa kau sedang berpura-pura menjadi seorang pelayan?"
Thomas mengerutkan dahinya.
"Ya sudah kalau begitu! Aku yang akan masuk duluan!" Thomas memasang wajah marah, lalu tertawa.
"Thomas? Kau kah itu?" tanya seseorang dari dalam rumah.
"Bibi Jane! Ini aku....." Thomas berlari masuk.
"Bibi!" Thomas langsung memeluk Jane begitu melihatnya keluar dari dapur.
"Oh, Thomas! Aku merindukanmu....! Kemana saja kau? Sepertinya ini sudah satu minggu sejak terakhir kali kau berkunjung..."
"Maaf, akhir-akhir ini aku sibuk. Oh iya, mana paman Fred?"
"Ayah sedang diluar kota, besok dia baru pulang" Coliee merebahkan tubuhnya di sofa. Thomas berjalan menuju ruang tengah.
"Oh iya, besok kita akan pergi berlibur, setelah ayah Coliee pulang, kita langsung berangkat. Kau mau ikut?" tanya Jane sambil mengeluarkan cemilan dari lemari.
"Liburan?" tanya Thomas sambil ikut merebahkan dirinya di atas karpet.
Coliee mengangguk. "Mau ikut?" tanya Coliee.
"Kurasa kalau besok aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Aku harus mengawasi persiapan festival musim panas,"
Coliee bangun, ia turun dari sofa, lalu duduk di samping Thomas yang sekarang sedan menutup matanya.
"Dengan siapa kau akan pergi ke festival musim panas minggu depan?" tanya Coliee setengah berbisik.
"Kenapa?" Thomas membuka sebelah matanya.
"Tidak. Hanya ingin tahu," Coliee bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kamarnya.
Thomas tahu apa maksud dari pertanyaan Coliee tadi. Ia hanya berpura-pura tidak tahu untuk melihat reaksi Coliee. Setiap tahun, saat musim panas, mereka selalu pergi bersama. Tentu saja orang yang Thomas harapkan untuk pergi ke sana bersamanya adalah Coliee.
Saat Coliee hendak masuk ke dalam kamarnya, Thomas bertanya dari ruang tengah dengan suara keras.
"Bagaimana kalau aku pergi denganmu?" Thomas terkekeh.
Mendengar itu,Coliee menghentikan langkahnya. Ia tersenyum lebar. Ini adalah kalimat yang ia tunggu keluar dari mulut Thomas.
Coliee menghampiri Thomas, tangannya menyilang.
"Mmm, aku akan mempertimbangkannya...." katanya sambil memasang wajah dingin. Tetapi senyum di wajahnya tak bisa ia sembunyikan. Thomas berusaha menahan tawanya.
"Jadi kau tidak bisa pergi denganku?" Tanya Thomas kemudian.
Coliee masih memasang ekspresi dinginnya.
"Baiklah, aku akan ajak yang lain," Thomas bangkit dan melangkah menuju pintu depan.
"Tunggu!"
Thomas menghentikan langkahnya, masih dengan menahan tawa.
"Sepulang liburan! Kau bisa pergi denganku setelah aku pulang dari liburan!" Kata Coliee dengan suara yang cukup keras. Ia berlari menghampiri Thomas yang sudah berada di teras rumah.
Thomas tertawa.
"Baiklah, aku akan menjemputmu,"
Coliee mengangguk.
"Thomas,"
"Ya?"
"Tunggu aku,"
"Tentu saja!" ia mengacak-acak rambut hitam Coliee.
"Ya sudah, pulanglah, ini sudah hampir gelap..."
"Iya, Bibi Jane, aku pulang dulu..."
Jane keluar dari dapur dan menghampiri Thomas.
Ia memeluk Thomas,
"Hati-hati di jalan,"
Thomas mengangguk, "Terima kasih tehnya..."

LockedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang