4. Friend, huh?

56 3 3
                                    

Malam. Dalam kamar yang bercahaya remang dari lampu belajar diatas meja itu, Z duduk terpekur diatas ranjangnya. Pikirannya melayang-layang pada ucapan Raden tadi siang.

'Lo nggak sendirian, Z. Lo punya temen disini.'

"Temen, huh?" gumam Z pelan. Pun pelan diucapkannya, dinding kamar ini seolah memantulkan kembali bisikan itu dalam desis kelam.

Sudut-sudut bibir Z tertarik sedikit, sedikit sekali sampai mustahil dikatakan itu sebuah senyum. Yah, Z udah lama nggak tersenyum. Segala tawanya yang selama ini muncul ke permukaan hanya sekedarnya, tanpa ada dorongan dari hatinya yang terasa beku. Dalam kebekuan hati itu, ada banyak goresan, luka, bahkan lubang bernanah disana. Dibekukannya hati, hanya agar tidak ada lagi yang dapat melukainya. Tapi semua kebekuan itu, yang disimpannya rapat-rapat, dapat tertembus oleh kalimat seorang teman.

Seorang teman, huh? Sebuah ikatan yang selama ini sulit dijalinnya mengingat betapa keras watak Z dan betapa banyak kontradiksi dalam darahnya. Sebuah ikatan yang tak pernah ada keinginan untuk menjalin kembali setelah ia membekukan hatinya. Sebuah ikatan yang diputuskannya dari siapapun di bumi ini, membuat betapa cadasnya lapisan es tempat ia menyimpan kehangatan hatinya yang nyaris hancur.

Dan hari ini, hanya karena sikap kecil dari Reka dan kalimat pendek dari Raden, kehangatan tipis itu menyeruak merembes dinding esnya. Untuk pertama kali sejak lima tahun berlalu, Z membalik bingkai yang diisi gambar senyum bahagianya.

"Apa kabar lo, pahlawan kesiangan." gumam Z pada kegelapan kamar dan dinginnya udara malam. Airmatanya kembali merembes.

Pagi itu Z terbagun oleh getar ponselnya yang berada diatas laci sebelah ranjangnya. Sebuah pesan diterimanya, dari Ayah.

"Kebutuhan kamu cukup, nak? Ayah sudah transfer untuk kebutuhan kamu untuk bulan ini. Kasih tau Ayah kalau kurang. Oh ya, nanti pulang sekolah temui Ayah di garden resto. Ayah nggak bisa jemput karna Ayah nggak hapal jalan ke sekolahmu. Ayah tunggu."

Reka membaca pesan itu dengan setengah hati. lalu bergumam "Dasar buta arah." sedetik kemudian ia sadar bahwa buta arah yang dialaminya menurun dari Ayah.

"Dasar payah," omelnya pada diri sendiri. Z mengambil handuknya dan mulai bersiap-siap untuk sekolah.

Z berangkat sekolah dengan perasaan lebih tenang, ledakan dalam kepalanya mulai bisa dikendalikan. Setibanya dipelataran parkir, Raden telah menunggu mereka diatas motornya. Tidak seperti Z yang doyan motor sport besar bak megatron, Raden lebih memilih motor sport yang sesuai porsi badannya.

Dengan kaki kanan terlipat diatas tanki dan kaki kiri menyangga motor, Raden nyengir mendengar deru motor Z.

"Lama amat lo." katanya saat Z melepas helm.

"Iya nih, si bebski dandannya lama." jawab Z. Reka turun dari boncengan Z melempar pandangan curiga pada mereka.

"Kenapa lo?" tanya Raden, jengah ditatap lama-lama sama Reka.

"Lo berdua kok jadi akrab sih?" Reka malah bertanya balik.

"Lah kenapa? Cemburu lo?" ledek Raden.

"Lo berdua..." Reka sengaja merendahkan dan menggantung suaranya, ia mendekatkan kepala pada mereka, berbisik rendah. "...homoan ya?"

Seketika tawa Z meledak. Bukan jenis tawa seperti kemarin, tawanya kali ini jauh lebih ringan. Z melempar seringai pada Raden, dengan segera Raden mendapati sinar jahil disana. Z turun dari motor, tersenyum jumawa, dan merangkul bahu Reka dengan tangan kirinya. Tangan kanan Z yang bebas digerakkan selembut mungkin meraih wajah Reka agar dapat bertatapan dengannya. Lalu jemari Z membelai halus wajah Reka.

ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang