Menelusuri jalan di Jakarta jam segini tuh rasanya kayak nyebrang neraka. Panasnya ampun. Hampir-hampir meleleh aspal di jalan-jalan protokol yang dilewati Z dan Reka. Sepanjang jalan mereka bungkam, melindungi diri masing-masing dari terik matahari dan pantulan gedung-gedung berdinding kaca. Tujuan mereka, Jl. Hamengkubuwono termasuk daerah yang asri mengingat lokasinya dekat taman kota.
Dari awal jalan, Reka sudah merasa ada yang aneh dari Z. Biasanya nih cowok bakal nyinyir nanyain ini dimana, jalan apa, patokannya apa, arah mata angin dimana, dan tetek bengek lain untuk mengindikasikan posisinya. Tapi siang hari ini, Z bungkam.
Bungkamnya Z membuat Reka enggan bersuara. Alam bawah sadarnya memberi alarm sebaiknya jangan tanya-tanya. Z sendiri ditenggelamkan dalam pikiran yang menggerayangi kepalanya. Sama sekali lupa pada pertanyaan-pertanyaan yamg biasa dia lontarkan.
Kawasan Resto Garden di Hamengkubuwono ini benar-benar nyaman. Pohon-pohon rindang menjadi payung alam bagi yang berlindung dibawahnya. Semilir angin yang berhembus menimbulkan gemerisik halus dari dedaunan diatas sana. Atmosfir nyaman ini tak pelak menenangkan gemuruh hati pemuda yang baru memarkirkan motornya.
Turun dari motor Z menangkap Mercy ayahnya. Mobil mencolok itu tampak bak primadona ditengah mobil yang lain. Z mengamati Resto itu, dia berdiri mematung berusaha keras meredam emosinya dan memasang wajah datar andalan yang biasa ditampilkan didepan ayahnya. Reka berdiri diam dibelakang Z. Diamatinya punggung tegap itu dengan seribu tanya. Berkali-kali pemilik punggung itu terlihat menarik nafas dalam sebelum berpaling padanya.
"Ayo masuk," ajak Z menyentak dagunya. "Masuk ke medan tempur." gumam Z.
"He-eh," jawab Reka berjalan dibelakang Z.
Reka celingak-celinguk memutar kepalanya. Bagaimanapun, sejauh matanya memandang, orang-orang yang ada disini termasuk golongan high class. Reka melirik Z dari atas kebawah. Dia terlihat biasa saja, sama sekali nggak mengindikasikan bahwa dia anak juragan. Okelah, motornya memang keren sih.
Z berhenti dan langsung mengambil bangku berhadapan dengan seorang pria paruh baya disalah satu meja dalam Resto itu. Pria itu tersenyum menatap anaknya. Reka memandang takjub pada kedua ayah-anak ini. Mereka benar-benar mirip! Dari wajah, postur, bahkan kharismanya!
Dengan canggung Reka mengambil bangku disebelah Z. Entah apa yang terjadi saat itu, tapi yang Reka rasakan adalah keheningan diantara mereka sarat akan ketegangan invisible, sampai bergerak sedikit saja bisa memicu sebuah ledakan. Dengan segera dua orang pelayan datang dan membawa tiga makanan yang dihidangkan didepan mereka.
"Gimana kabarmu nak?" tanya Ayah Z tenang. Atmosfir disekitarnya terasa ramah bagi Reka.
"Baik," jawab Z kaku.
"Papa sudah transfer kebutuhan kamu untuk bulan ini, kalau kurang kamu bilang ya?"
"Ya."
"Ini temen kamu nak? Siapa namanya?" tanya pria itu mengalihkan pandangan pada Reka. Pria itu memgulurkan tangan, dengan gugup Reka menyambutnya.
"Nama saya Reka om," jawab Reka nyengir. Lalu mereka mulai makan. Reka heran sendiri kenapa nih cowok bisa setenang ini, biasanya Z cukup beringasan saat makan. Tapi kali ini, Reka tidak menampik ia terlihat seperti bangsawan.
"Papa dengar kamu berantem disekolah, nak?" tanya Ayah Z memandangnya. Z melirik beliau sekilas, lalu mengangguk tak peduli.
Reka mulai ketar-ketir dalam hatinya. Ia beranggapan Z akan dimarahi habis-habisan krena wajah ayahnya bukanlah wajah yang tidak peduli apa yang terjadi pada anaknya.
"Menang nggak?" tanya Ayahnya. Reka melongo, sama sekali tak menyangka nada penasaran lah yang keluar dari Ayah Z.
Z memutar matanya, "Memang kapan aku pernah kalah, yah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Z
Teen Fiction"Jangan pernah percaya dongeng. 'Happy Ever After'? Cuma orang tolol yang percaya!" - Z Rentang waktu dalam hitungan tahun bukanlah sebentar. Juga, kebahagiaan hanya berlaku detik ini. Buang ekspektasi lo tentang 'Bahagia selamanya'. Karena setitik...