Aborsi

494 9 3
                                    

Aku hanyalah separuh napas tanpa jiwa
yang diembusterbangkan mulut takdir
ketika pilihan hanyalah keniscayaan


Berkali-kali aku berontak, tetap saja aku tak bisa. Tak kan pernah bisa. Sepasang tangan takdir terus mendekapkan tangannya erat. Aku sesak. Berharap semua mengalir seperti seharusnya. Kembalikan hidupku!


Ini tak seharusnya terjadi, aku tak pernah menginginkanmu.

Tapi, Ma, apa salahku?
Tak ada.
Lantas?
Ini adalah takdir yang harus kamu jalani.
Takdir? Tidak! Bukan itu. Ma, aku mohon.


Aku menggelepar, terkapar, memar, dalam keadaan tak sadar.

"Kamu kenapa?" Aldi mengecek urat nadiku, mendekatkan wajahnya ke arahku, yang terbaring di lantai.

"Kamu cinta aku, bukan?" Aku meminta kepastian. Aldi melipat dahinya, kedua bola matanya menatap heran. Pikirannya sedang mengunyah kalimat yang kuucap barusan.

"Ya. Untuk apa yang telah kulakukan, aku mencintaimu," jawabannya.

"Apa pun akan kamu lakukan, untuk membuktikan rasa cintaku padamu?" Aku mendesak.

"Untuk apa pun."
"Janji?" Waktu menjeda, hening.
"Janji!"
"Baiklah, semoga kamu tidak berusaha mengingkarinya."


Tapi, Ma, izinkan aku menatap hitam putihnya dunia

mendengar kicauan burung-burung, cericit anak ayam, desir angin di pucuk pinus

Tidak anakku, maafkan Mama.


"Tidak! Untuk yang satu ini aku tak ingin melakukannya," ucap Aldi dalam intonasi keras. Aku ternganga, tak percaya.

"Kamu sudah berjanji," tekanku, "untuk apa pun, bukan?"

"Untuk apa pun, namun tidak untuk yang satu ini." Aldi beringsut menjauh dari sampingku, kilat matanya tak bisa kurapal.

"Hai! Kamu ... ah," aku mendesah, perutku melilit seolah berontak.


Ma, coba katakan sekali lagi kepadanya bahwa aku ingin hidup. Tidak lebih.

Aku tak bisa, Sayang. Tidak bisa.

Ma. Aku mohon. Biarkan aku menghirup udara dunia, lantas memanggilmu, Mama.

Tidak, Sayang. Maafkan Mamamu ini.


"Kamu itu keterlaluan. Aku tak ingin melakukannya. Aku ingin memberinya kesempatan," aku mencoba merajuk. Gagal.

"Aku mencintaimu, tapi untuk yang satu ini, berikan aku pilihan yang paling masuk akal," ujar Aldi. Wajahnya kusut masai. Ada gusar yang disisipkan pada wajahnya yang lelah.

"Membiarkannya hadir adalah hal yang paling masuk akal," ujarku. Bulir bening tumbuh di kedua sudut mataku. Tanganku mengelus perutku lembut.

"Tidak. Tidak. Itu tidak masuk akal." Aldi melabuhkan ciumannya di dahiku, aku geming. Damai tiba-tiba menyelusup.

"Berikan aku pilihan mudah," lanjutnya. Aku menyerah. Kalah.

"Tapi ...."
"Sayang, percaya aku. Kamu akan baik-baik saja," Aldi merengkuh tubuhku, membiarkan gelora tubuhku menjadi gelombang. Bergulung-gulung lantas pecah di pasir jiwa.

"I love you," ucapnya.
"Love you too," balasku.

Mama tega. Kenapa, Ma? Kenapa Mama tak sedikit pun menyisakan nurani untuk memberiku kesempatan. Sedikit saja. Sekali saja.

Maafkan Mama, Sayang.

Mama tega.


Aku terkapar, aku menggelepar, nanar. Antara sadar dan tidak, rasa pedih tumbuh membelukar di dalam rongga dada.

Perih itu adalah saat kehilanganmu, anakku Sayang.

Selangkanganku pecah. Basah. Kamu tersenyum, sementara di dalam sanubariku dia menangis, pun hatiku.


Aku tak akan pernah bisa memaafkan Mama.

Aku menangis pedih, kamu telah merenggut paksa anakku, buah hati kita sendiri.

"Ini lebih baik bukan? Kita akan menjalani hidup kita kembali dengan leluasa," Aldi menyeringai.

"Kamu jahat!" pekikku.
"Tidak, Sayang. Ini adalah pilihan."

Mama jahat!
Mama tidak punya hati!
Aku benci Mama!


*****


"Rin, aku telah melakukannya. Membunuh bayiku sendiri."

"Maksudmu?" Di seberang telepon, Rina--sahabatku, terdengar panik.

"Aku menuruti perintah Aldi. Aku ... menggugurkannya," jawabku dengan nada penuh sesal.

"MasyaAllah."



EmbrioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang