Beberapa hari ini, Anita dibekap oleh kegelisahan yang mendi-jadi. Rivaldi sudah hampir tiga hari tidak pulang ke rumah. Setelah pertengkaran itu; perihal nama Wina yang kerap muncul di dalam tidur Rivaldi membuat Anita berang. Ia tahu, sesuatu sedang terjadi dengan suaminya. Anita, dengan kecemburuannya, serta-merta menuduh Rivaldi sedang ada main dengan perempuan lain. Rivaldi tidak mengakui, dan semenjak itulah mereka kerap bertengkar, hingga Rivaldi memilih untuk tidak pulang ke rumah untuk meredakan suasana.
Anita mendatangi kantor suaminya dan berharap menemukan nama Wina di kantor suaminya tersebut. Entah karena kebetulan atau tidak, sama sekali tidak ada nama Wina di tempat suaminya bekerja. Entah itu bawahan Rivaldi atau rekan kerja lainnya. Nama itu tidak berhasil Anita temukan.
Sementara Anita terus menyelidiki perempuan yang dimaksud, Rivaldi masih terjebak di perkampungan dekat hutan, tempat kali terakhir ia ditemukan oleh warga kampung itu di tengah hutan. Rivaldi terus bertanya perihal keberadaan rumah, yang ia yakin telah dimasukinya.
"Aku tidak berbohong, Pak. Rumah itu benar-benar ada," terang Rivaldi dengan intonasi yang yakin.
"Tentu saja," jawab Pak Karto, tetua kampung tersebut. "Sayangnya, Rumah itu sudah lama menghilang," lanjutnya.
"Maksud Bapak?"
"Rumah itu berhantu."
"Bapak yakin?"
Pak Karto mengangguk. "Tentu saja, Nak. Itu rumah seorang perempuan muda bernama Lastri, bersama anak gadisnya. Entah mereka berdua berasal dari mana. Setahuku, mereka bukan warga sini."
Rivaldi mematung. Ini tidak mungkin, batinnya. Jelas-jelas ia bertemu dengan pemilik rumah itu, dan dirinya yakin itu adalah Wina, perempuan yang terbuang dari masa lalunya.
"Namanya Lastri?" tanya Rivaldi seolah penasaran. Ia memastikan.
"Ya. Lastri. Seorang janda." Pak Karto menjeda kalimatnya. "Banyak laki-laki yang kerap mendatanginya."
"Bukan Wina?" kejar Rivaldi, seolah dirinya yakin bahwa pemilik rumah itu keliru disebutkan sebagai Lastri.
"Wina?" Pak Karto balik bertanya.
"Ya. Wina?"
Pak Karto menggeleng, yakin. "Bukan."
*****
Anita membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Kamar itu terasa sangat lengang. Anita merasa bahwa kepergian suaminya itu karena kesalahannya. Ia keterlaluan telah menuduh Rivaldi berselingkuh.
"Bahkan bila aku dibunuh oleh tanganmu sekalipun, aku tidak akan mengakui bahwa aku sedang berselingkuh," ucap Rivaldi kala itu. Anita terus bersikukuh.
"Lantas, kenapa Mas terus memanggil-manggil namanya, hampir tiap malam?"
"Aku tidak tahu. Sama sekali."
"Bohong!"
"Terserah!" Sekali ini, Rivaldi yang pada akhirnya berang.
"Bukannya aku sering menceritakan mimpi-mimpi itu, Ma?" serang Rivaldi. "Dan, sayangnya, Mama selalu menganggap bahwa mimpi itu hanya mimpi biasa."
"Aku tahu. Aku selalu menganggapnya demikian. Tidak ... semenjak nama Wina sering Mas sebut."
"Maafkan aku, Ma."
"Tidak akan. Setelah semuanya jelas," pungkas Anita.
*****
Aku memutuskan untuk menuruti apa yang disarankan oleh Rina. Mendatangi seorang psikiater.
"Apa aku benar-benar harus melakukannya, Rin?" tanyaku untuk kali kesekian. Aku tahu jawaban Rina akan tetap sama: ya, setidaknya, temanku ini meyakinkanku bahwa itu harus.
"Tentu saja."
"Apa itu artinya kau telah menganggapku gila?"
"Ra ...."
"Baiklah," pada akhirnya aku mengalah. Demi kebaikanku sendiri. Gangguan-gangguan itu kerap membuatku seolah menjadi gila. Aku begitu dibuat frustrasi. Gadis itu .... ah, bahkan ia tidak memberiku kesempatan untuk bernapas lega.
Pagi hari pukul tujuh aku bergegas, ditemani Rina, pergi dari villa di Bogor menuju Jakarta. Rina merekomendasikan nama seorang psikiater yang bisa aku kunjungi. Dan, itu adalah sahabat Rina. Psikiater itu bernama Halim. Bukan. Bukan Halim Perdana Kesumah, tetapi Halim Haryadi.
Kata Rina, temannya itu telah berhasil menyembuhkan banyak pasien kejiwaan yang ia tangani. Aku menatap Rina dengan sedikit sendu. Rina menoleh seraya mengerutkan dahinya, sementara tangannya memegang stir.
"Kenapa, Ra?"
"Bentar lagi aku gila, kan, Rin?"
"Kau ini ngomong apa, sih, Ra."
"Serius, Rin?"
"Tidak. Kamu tidak akan seperti itu. Percaya padaku," hibur Rina seraya mengelus punggung tangan kananku. "Semua akan baik-baik saja."
Mobil yang dikemudikan Rina mulai meninggalkan jalan perbukitan yang berkelok-kelok. Sebentar lagi, mobil kami akan memasuki pintu tol Jagorawi. Itu artinya, Jakarta akan segera disinggahi.
Aku menatap mobil-mobil yang saling berpacu dengan kecepatan tinggi lewat kaca mobil. Sesuatu yang salah membuat dahiku mengerut. Di seberang sana, di antara rerimbunan perdu yang berjejer di pinggir jalan tol, seorang gadis kecil berdiri menatapku. Ia melambaikan tangannya ke arahku. Wajahnya yang pucat tampak terlihat dengan jelas dari jarak cukup jauh dari laju mobil kami. Ini mustahil. Setiap kali aku menengok ke pinggir, gadis itu masih ada, terlihat dengan posisi yang sama. Aku menoleh ke arah Rina. Temanku itu sedang fokus dengan kendali mobilnya. Kucoba untuk mengabaikan keberadaan gadis itu yang seolah mengikutiku. Kupasang earphone ke telingaku, seraya memejamkan mata. Berharap, gadis yang berdiri di pinggir jalan tol itu hanya ilusiku saja.
Aku terkejut tiba-tiba dan sontak membuka mata ketika sebuah decitan terdengar nyaring. Rina tampak membanting stir-nya ke arah kiri hingga laju mobil tak terkendali, terpelanting lantas terbalik di atas aspal. Rina menjerit histeris, sementara aku, sesaat sebelum kendali kesadaranku muncul, seorang gadis berambut panjang tampak tersenyum di balik kaca mobil depan yang hancur berkeping-keping. Mobil berguling beberapa kali hingga setelahnya semua terasa gelap bagiku. Aku tidak sadarkan diri dengan rasa nyeri yang berkelindan di hampir semua bagian tubuhku.