Depresi

129 3 0
                                    


"Aku tidak benar-benar membenci Mama. Aku tahu, Mama sudah memperjuangkan keberadaanku, walaupun pada kenyataannya gagal. Aku sayang, Mama."

Ruangan itu begitu sempit. Berukuran sekitar 4x5 meter saja. Tidak ada sekat yang memisahkan ruangan itu. Satu tempat tidur, satu buah meja, satu jendela dan pintu, dan sedikit ruangan wc yang letaknya begitu sempit. Ventilasi udara yang minim, membuat ruangan itu sedikit pengap, juga apak.

Seorang perempuan tengah terduduk di sudut ruangan. Lututnya ditekuk dengan dagu hampir menyentuhnya. Ia tampak mengerang dengan suara yang serak dan dalam--seolah berasal dari titik paling dasar tenggorokannya. Kedua tangannya sedang menjambak rambutnya yang panjang. Suatu ketika ia menjambak rambutnya sendiri dengan sangat keras. Ia berteriak beberapa kali. Meraung. Merintih. Bahkan, terisak-isak seolah sesuatu yang sangat menyakitkan menggerogoti jiwanya.

Ia mendongakkan wajahnya kemudian. Bola matanya yang bulat besar tampak berkilat-kilat, walau pada kenyataannya sorot mata itu menyiratkan amarah dan kebencian, cahanya begitu redup. Ada keputusasaan bersemayam di sana. Berkali-kali ia membenturkan kepalanya ke tembok. Ia menjerit setelahnya.

Tiga orang perawat datang. Dua orang lelaki dan satunya lagi perempuan. Mereka membuka pintu ruangan dengan sangat tergesa.

"Dosisnya tolong ditambah, Suster," ucap salah seorang perawat lelaki.

"Itu terlalu berbahaya," tukas suster itu.

"Tidak. Selama tidak melampaui batas." Perawat satunya lagi menimpali, lelaki yang lain.

"Aku tidak mau bertanggung jawab untuk itu,"Suster tegas.

Mereka berdua tidak bisa berbuat banyak kecuali menuruti.

"Pegang dia."


Perempuan di sudut ruangan itu tampak terkejut. Ia semakin merapatkan tubuhnya seraya berteriak-teriak tak keruan. Yang diucapkannya tidak lebih dari makian-makian yang sangat kasar.

"Setan kalian! Anjing kalian! Dasar lonte, maniak. Aku tidak gila! Kalianlah yang gila! Keluarkan aku dari tempat brengsek ini! Dan, kembalikan anakku!"

Perempuan itu terus memberontak. Tapi, percuma saja. Kekuatan dua lelaki itu tidak cukup untuk perempuan itu melakukan perlawanan. Mereka memegang kedua tangan dan kakinya erat-erat. SDang Suster bergerak dengan jarum suntik yang sudah dijentikkan. Obat penenang di dalam alat suntik itu sudah siap dialirkan ke dalam tubuh perempuan itu.

Perempuan itu terus meronta. Hingga pada suatu kesempatan ketika ia lengah, Jarum itu akhirnya mampu menusuk kulit pangkal lengannya.

Perempuan itu terus berontak. Sementara ketiga perawat itu segera beranjak. Mungkin, sebentar lagi obat itu akan segera bereaksi.


"Mama, maafkan aku. Anakmu ini telah membuatmu jadi begini. Mama jangan menangis. Kalau Mama menangis, aku menjadi sangat sedih. Bangunlah, Ma! Lawan mereka semua. Kalau aku bisa, aku akan membalas perbuatan mereka. Aku janji, Ma. Janji." 

"Ma. Papa di mana? Aku ingin bertemu dengannya."


*****

"Pa. Papa!"

Suara itu memanggil-manggil dengan begitu jelas. Rivaldi menoleh. Tidak ada siapa pun di belakang sana. Selepas pulang dari kantornya tadi, Rivaldi mengurung diri di dalam ruang perpustakaan pribadinya. Ia berpesan kepada istrinya bahwa tidak ada seorang pun yang boleh mengganggunya, termasuk Indra dan Indri.

EmbrioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang