Aku berpikir untuk mengurungkan diri masuk menemui dokter yang direkomendasikan oleh Rina. Pulang dan melupakan segala kejadian yang kualami beberapa hari belakangan ini, jauh lebih baik. Daripada ....
Aku harus menceritakan semua kejadian dari awal hingga akhir secara runut, tidak boleh ada yang terlewat, sebab semua detail yang terjadi saling bersinergi satu sama lain. Itu yang kupikirkan bila sudah memutuskan masuk, menemui Dokter Halim.
Aku masih berdiri di depan pintu ruangan ketika Rina muncul tiba-tiba dari arah belakang---tadi, ia memutuskan untuk tidak ikut menemaniku.
"Masih mempertimbangkannya, Ra? come on! Ini untuk kebaikanmu, Ra. Apa yang kamu pikirkan?"
Aku menoleh. Rina terpaku dengan tatapan mata mengintimidasi. "Tidak seperti itu. Entahlah. Apa aku harus menceritakannya, lantas setelahnya dokter itu akan mengorek semua cerita masa laluku hingga ke dasar-dasarnya. Aku pikir, tidak seorang pun musti tahu semuanya," terangku. Kebimbangan kembali mencengkeramku.
"Ra. Jika kamu lebih memilih diam dan menghadapinya sendirian, sama sekali aku tidak keberatan. Akan tetapi, aku sahabatmu, dan peduli akan keadaanmu."
"Terima kasih atas kepeduliannya, Rin."
"Aku tidak bermaksud ...."
"Aku tahu. Ini demi kebaikanku." Aku mendesah. Terlalu berat keputusan yang harus kuambil detik ini. "Give me one minute."
Rina tidak menjawab kecuali mulutnya yang komat-kamit tanpa suara sebagai pengganti kata 'terserah'.
"Thank," ujarku.
Rina mengangguk. "Aku menunggu di depan."
Butuh beberapa menit untuk memikirkannya. Setelahnya aku mantap dengan keputusanku. Aku harus melakukannya. Apa pun konsekuensinya, bagiku sudah tidak ada masalah lagi.
Halim Haryadi bertubuh atletis, berdada bidang, dengan otot-otot bisep bertonjolan dari balik lengan baju kemeja pendeknya. Tatapan matanya begitu hangat, dengan Five o' clock shadow menghiasi wajahnya yang sehalus kulit bayi. Rahang yang tegas dengan hidung bangir.
Ia tengah berdiri membelakangi meja kerjanya, sementara kaca jendela ruangan sedikit terbuka. Aku berdiri di hadapannya dengan tidak yakin.
"Nara Apriliani?"
"Ya, aku," jawabku lirih.
"Silakan duduk. Just relax. Aku tidak semenakutkan dengan apa yang kaupikirkan."
"Aku tidak bicara begitu."Dokter itu tersenyum, manis. Sedikit banyaknya telah mencairkan kekakuanku. Aku menghenyakkan tubuhku di atas kursi, sementara Halim gegas memutari meja, lantas duduk di mejanya.
"Terkadang, memendam kepahitan masa lalu, jauh lebih menyakitkan dari masa lalu itu sendiri," ucapnya. Membukan percakapan.
"Terlalu banyak hal yang dirahasiakan, akan membuat hidupmu jauh lebih menakutkan," lanjut dokter itu. Aku tahu arah percakapannya, tentu saja ada sangkut pautnya dengan kehidupanku. Mungkin, di belakangku, Rina telah memberikan sedikit informasi tentangku kepada dokter itu.
Aku masih terdiam ketika Dokter Halim bertanya kepadaku. "Bisa kita mulai?" tanyanya.
Sekali ini aku mengangguk. Pasrah. "Off the record, kan, Dok?"
"Absolutely, yes. I' m promise."
Kesepakatan sudah dibuat. Aku pun mulai bercerita. Semuanya. Dari awal hingga akhir. Sepanjang aku bercerita, Dokter Halim sekali-kali menuliskan sesuatu di atas secarik kertas yang sudah dipersiapkannya. Ceritaku sama sekali tidak pernah dipotongnya; sekadar sebuah pertanyaan pun tidak.