Wina

111 1 0
                                    

Cuaca meremang. Rivaldi semakin jauh melangkah. Udara begitu dingin, langit malam sedikit temaram dengan cahaya bulan sabit seadanya.

Beberapa kali betis kakinya terasa perih, terantuk onak dan duri sepanjang perjalanannya ini. Sudah beberapa jam lalu jalan yang dilaluinya tidak lagi jalanan aspal, berganti jalan setapak yang di kanan-kirinya ditumbuhi semak belukar dan padang ilalang.

Rivaldi tidak sedang melakukan ritual mendaki gunung, seperti yang beberapa waktu sedang mulai digemarinya. Tidak. Tidak pula sebagai tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya menyisir kawasan pinggiran hutan.

Semua berawal ketika tanpa sengaja Rivaldi melihat gadis kecil itu sedang menatapnya lekat di seberang jalan. Gadis itu tersenyum kepadanya.

Rivaldi hampir membuka pintu mobilnya ketika gadis itu mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Rasa penasaran begitu saja hinggap di diri Rivaldi. Gadis itu sosok yang ia lihat di pekarangan belakang rumah, juga dalam mimpi-mimpinya.

Rivaldi, seolah sedang dihipnotis, terus mengikuti ke mana gadis itu pergi. Semakin jauh dan terus menjauh. Rivaldi sebenarnya merasakan hal itu, akan tetapi dirinya seolah enggam untuk kembali berbalik arah. Ada kekuatan besar tak terlihat yang seolah menuntunnya.

Beberapa saat langkah Rivaldi terhenti. Gadis itu seolah menghilang di keremangan cuaca. Sudah sangat jauh Rivaldi berjalan, itu dapat ia perhitungkan sebagaimana hari sudah berubah, dari sore, kini telah menjadi malam.

Rivaldi berdiri kebingungan. Ia baru sadar, dirinya sedang berdiri di antara kelenatan pohon-pohon pinus. Sama sekali ia tidak tahu di mana dirinya berada. Yang ia tahu, gadis itu telah membawanya ke tempat ini.

Rivaldi menoleh, suara mendesah terdengar dari arah belakang diikuti suara langkah kaki yang menginjak patah ranting-ranting patah yang banyak tergeletak di atas tanah. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali desau angin.

Suara serangga malam terdengar riuh bergantian. Kepak sayap kelelawar menyambar-nyambar di atas kepalanya. Selain cahaya bulan sabit, tidak ada cahaya lain yang tampak di sekitarnya. Rivaldi mulai dihinggapi rasa takut dan kecemasan. Bulu kuduknya berdiri tiba-tiba.

Rivaldi merogoh saku celananya dengan maksud mengambil ponsel untuk sekadar membantu pencahayaan. Bodohnya, baru ia sadari bahwa ponselnya tertinggal di mobil, tadi. Dan, tidak sempat diambil.

Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang selain berusaha mencari jalan untuk keluar dari tempat itu. Usaha yang sia-sia, sebab, bahkan ia tidak ingat melewati jalan mana saja ketika dirinya sampai di tempat ini.

Rivaldi memaki dirinya sendiri. Kenapa ia melakukannya, membuntuti gadis kecil itu hingga sampai di tempat ini. Kalau saja ia tidak begitu penasaran, mungkin sudah dari tadi ia berada di rumah, bercengkerama dengan Anita juga kedua anaknya.

Suara gemerusuk terdengar di depan sana. Rivaldi menarik pandangannya dari arah belakang. Kini tatapannya tertahan di arah depannya. Gadis kecil itu, entah datangnya dari arah mana sedang berdiri membelakangi Rivaldi. Ia begitu terkejut, hampir dirinya melonjak kaget.

Rivaldi melangkah mendekati gadis itu. Hal yang sama dengan sang gadis, ia pun melangkahkan kakinya kembali. Semakin cepat Rivaldi mendekati gadis itu, semakin cepat pula gadis itu menjauh dari jangkauan Rivaldi.

Begitu cepatnya gadis itu melangkah, bahkan seolah berlari. Rivaldi tidak mampu mensejajari posisi gadis itu. Ia menggeleng. Ini tidak mungkin. Rivaldi terbiasa berolah raga dan lari. Namun, mengejar gadis itu seolah sebuah kemustahilan.

Rivaldi menghentikan langkahnya untuk kali kesekian. Gadis itu tiba-tiba menoleh lantas tersenyum. Bibirnya bergetar, dalam suara yang serak. "Papa!"

EmbrioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang