Bagi Rivaldi Hardono, tidak ada yang lebih patut diperjuangkan dalam hidup adalah keharmonisan keluarga. Ia telah melakukan banyak hal untuk itu semua. Salah satunya adalah memberikan banyak kebahagian bagi keluarga kecilnya: istri yang cantik dan sepasang anak kembarnya; Indra dan Indri.
Ia berupaya keras untuk membuat keluarganya tidak berkekurangan. Direktur utama sebuah perusahaan multi nasional sudahlah sangat cukup baginya untuk membuat hidupnya tidak berkekurangan.
Namun, akhir-akhir ini, keharmonisan keluarga kecilnya mulai terusik. Bukan karena istri tercintanya mulai bosan karena ia lebih sering mementingkan pekerjaan ketimbang bermanja-manjaan dengan istri dan kedua anaknya itu. Namun, hal lain.
Rivaldi merasa ada yang salah dengan hidupnya akhir-akhir ini. Ia kerap bermimpi, mimpi yang sama sepanjang minggu ini.
Ia berusaha meminta pendapat kepada Anita, istrinya itu, perihal makna mimpi tersebut. Anita yang berpikiran realistis hanya tertawa kecil, ia lebih memercayai mimpi sebagai bunga tidur saja. Tidak lebih.
"Kamu ini, mimpi saja dipikirin," ucap Anita.
"Tapi ini aneh, Nit?"
"Semua mimpi itu aneh, lho, Mas. Kamu ini," ucap Anita lagi.Kalau sudah begitu, Rivaldi hanya bisa diam tidak berani melanjutkan percakapan.
Mimpi Rivaldi hanyalah sederhana saja. Harusnya tidak terlalu dipikirkan. Ia didatangi oleh seorang anak perempuan berusia sekitaran delapan tahun dan selalu memanggilnya papa. Ini aneh. Bahkan, kedua anaknya, Indra dan Indri, memanggil dirinya ayah. Kenapa anak perempuan ini memanggilnya papa?
Mimpi itu selalu datang, hampir tiap malam. Istrinya mungkin tidak tahu, ketika mimpi itu hadir, ia akan terbangun dengan keringat yang mengucur deras juga deru napas yang memburu.
Istrinya pun tidak tahu, setelah didatangi mimpi tersebut, Rivaldi tidak bisa memejamkan matanya hingga pagi. Esoknya, wajah Rivaldi akan terlihat pucat dan kuyu.
Anita hanya bertanya. "Kenapa? Mimpi itu lagi?"
Rivaldi hanya mengangguk. Tidak perlu dibahas. Toh, istrinya tidak akan berminat dengan cerita perihal mimpinya itu.
*****
"Aku seolah mengenal wajah itu. Tapi, entahlah. Setiap aku mengingat wajah itu, pikiranku ditarik ke beberapa tahun lalu."
Di kantor, Rivaldi segera menceritakan segala kegelisahan hati yang dialaminya kepada Rico, rekan kerja sekaligus sahabatnya itu.
Tidak ada tanggapan berarti kecuali anggukan dan tatapan menyimak.
"Hanya sebuah mimpi. Tidak perlulah dipikirkan." Rico, sama halnya dengan istrinya tidak terlalu merespon serius.
"Bahkan kamu dan istriku sama. Tidak tertarik dengan apa yang kukatakan."
Rico tersenyum. Menepuk bahu Rivaldi, lantas meninggalkannya seorang diri.
Sepeninggal Rico, Rivaldi mendesah panjang. Betapa kenangan masa lalunya berkelabat begitu saja. Ia masih bisa mengingat dengan sangat jelas kejadian itu. Tapi, sama sekali tidak tahu kelanjutannya. Yang ia tahu, dirinya memutuskan pergi begitu saja tanpa harus peduli akan kejadian selanjutnya.
"Beri aku waktu untuk berpikir."
"Terserah maumu kapan. Aku mungkin untuk sementara waktu tidak akan menemuimu."
"Kamu jahat, Di."
"Bukan begitu maksudku, Sayang. Kamu tahu sendirilah gimana keluargaku."
"Harusnya kamu tidak terlalu memikirkan itu. Bukankah kamu sudah berjanji bahwa apa pun yang akan terjadi kita akan menghadapinya bersama-sama."