Page 4: Hello Herbivore

203 24 3
                                    

Ponsel.

Satu kata untuk alat telekomunikasi super canggih ini. Mesin yang berguna untuk saling terhubung antara manusia yang satu dengan yang lainnya ini kian lama kian berkembang seiring dengan meningkatnya pengetahuan manusia. Dan seiring dengan waktu yang terus berputar, ponsel genggam itu kini bertransformasi bukan hanya bisa mengirimkan pesan suara, namun juga pesan teks, gambar dan bahkan video. Sungguh canggih bila mengingat memerlukan waktu berjam-jam untuk bertemu antar muka berbeda negara namun sekarang hanya memerlukan beberapa detik untuk saling bertatap dan berbicara hanya dengan koneksi dan kamera.

.

.

.

Alis pemuda bersurai coklat itu mengerut. Wajah bingungnya justru terlihat lucu dan menggemaskan saat irisnya yang besar mencoba membaca artikel tentang ponsel di android barunya. Keringat mengalir di pelipisnya namun tidak menyurutkan mood baik pemuda Sawada ini.

Android baru? Ya, pemuda berusia 14 tahun itu baru saja dibelikan sebuah ponsel canggih oleh Kaasannya tadi sore. Entah ada angin apa hingga Sawada Nana membelikan Tsuna ponsel baru. Hanya karena melihat ponsel flip yang menurutnya jadul dan ketinggalan zaman, ia menyeret sang anak semata wayang ke mall untuk membeli ponsel baru. Ponsel yang lebih baik dari ponsel sebelumnya yang bahkan tidak bisa internetan. Sebuah ponsel canggih dengan kamera sejernih kamera Canon, dengan jaringan internet 4G, dengan layar touch screen, dengan suara yang dihasilkan jernih—bahkan lebih bagus dari suara aslinya. Well, hanya satu kata untuk ponsel barunya, yaitu KEREN!

Yah... itu awalnya sih. Sampai Tsuna menyadari satu hal. Ia tidak mengerti dan bingung cara menggunakan ponsel canggihnya yang baru. Bahkan ponsel ini lebih ringan dan tipis ketimbang ponsel sebelumnya. Sungguh, sesuatu yang terasa sangat rapuh ditangannya. Lengah sedikit saja, Tsuna yakin ponselnya akan merenggang nyawa bila mengingat sifat cerobohnya. Well, sampai sekarang ia masih tidak percaya dengan ringan pegawai toko itu mengetuk-ngetuk kuat layar ponselnya untuk menguji kekuatan—bahkan Tsuna hampir berteriak panik—takut bila ponselnya rusak bahkan sebelum dibayar.

Baiklah, kembali ke topik permasalahan. Tsuna tidak mengerti cara menggunakan ponsel super canggih ini. Pemuda bersurai coklat ini sudah belajar—namun tetap saja tidak sepenuhnya mengerti. Entah sudah berapa jam ia habiska waktu di kamar hanya untuk mengotak-atik ponselnya. Terkadang ekspresi senang tercetak jelas di wajahnya saat berhasil mengerti, terkadang mengerutkan alis dengan bingung apabila tampilan atau bahkan apa yang ia inginkan tidak terjadi.

Akhirnya di malam itu, mengingkari sumpahnya untuk tidak meronda dan bangun pagi, Sawada Tsunayoshi baru tertidur sekitar jam 1 malam—dimana akhirnya ia baru merasakan kantuk setelah asik bermain dengan ponselnya sendiri.

.

.

.

Sakit.

Ya, itulah yang tengah dirasakan Sawada Tsunayoshi saat kedua kakinya terasa bagaikan ditusuk ribuan jarum dan sulit digerakan. Ia terlambat—seperti yang sudah ia perkirakan—dan diluar dugaan. Ia lupa membuat bento untuk Hibari hingga membuat pemuda bringasan itu marah. Ya, marah besar untuk yang pertama kalinya Tsuna lihat. Tsuna masih ingat betul saat sepasang iris metal itu menatapnya dengan tajam dan malah memukul 'pelaku' terlambat yang lain dengan lebih parah ketimbang biasanya dengan kedua tonfa. Bahkan Tsuna yakin melihat warna ungu menyelimuti kedua tonfa itu—apakah itu ilmu kebal(?) yang selama ini Hibari latih? Hanya pemuda KHR dan author lah yang tahu...

Namun satu hal yang pasti, kemarahan Hibari bukan hanya berdampak pada dirinya—yang disuruh duduk bersimpuh sambil menghafal seluruh nama siswa-siswi Nami-chu selama 2 jam non stop—tetapi juga berdampak pada sekitarnya. Hibari jadi lebih sensitif. Sentuh dikit kena tonfa, panggil dikit kena tonfa, dan sudah jelas anak buahnya lah yang paling banyak kena besi panjang itu ketimbang para pelaku kriminal diluar sana. Tsuna diam-diam merasa bingung kenapa para anak buah sang prefect tidak pernah ada yang mengundurkan diri, padahal sudah sering kena tonfa. Apakah mereka semua masochist?

Prefect DiariesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang