3.

7.9K 115 16
                                    

Aku berjalan sedikit berjingkat, takut mengotori lantai rumah karena sebagian kaki dan celanaku yang basah akibat hujan sore ini.

Hujan.

Apa bagusnya hujan? Kenapa semua orang suka hujan?

"Entah. Mungkin romantis?" jawabku yang lebih terdengar seperti bertanya atau meminta persetujuannya.

"Romantis dimananya? Yang ada aku ngantuk. Tapi pendapat orang sih beda-beda," ujarnya dengan senyuman.

"Iya, hujan itu romantis tau. Hujan rela jatuh berkali-kali, sakit berkali-kali di tempat yang sama." Kali ini aku menjawab dengan yakin.

"Kaya gitu romantis? Romantis sama bodoh beda tipis dong?"

Apa? Apa katanya?...

"Seseorang itu harusnya move kalo tau sakitnya disitu, jatuh disitu terus menerus. Sama kaya kalo kita buat salah, kita harus move. Jangan diem disitu aja. Harus disadari, harus diperbaiki. Biar jadi pribadi yang lebih baik lagi ke depan."

Ya Tuhan, bisakah ia tetap di sisiku? Kenapa ia begitu berani menjadi dirinya sendiri? Kenapa juga setiap pendapat yang ia lontarkan membuatnya terlihat semakin baik di mataku?

Inikah rasanya orang jatuh hati?

Ia mengenggam cangkir berisikan coklat panas yang dipesannya. Sesekali meniupnya, lalu menyeruputnya ketika dirasa sudah cukup hangat. Aku memperhatikan bahkan untuk tiap detik yang berlalu.

"Aku takut kak," lirihku yang aku tahu pasti kalau orang di hadapanku masih bisa mendengarnya.

Ia tersenyum hangat, sehangat coklat panas yang ada dalam cangkirnya. Ia tahu segala ketakutanku. Ia orang yang bisa membuatku nyaman hingga bisa melontarkan beban yang hinggap di hatiku.

"Kenapa? Kamu kan janji mau jadi pribadi yang kuat dan berani. Kamu pasti bisa. Jangan takut, Ta!" Lalu ia tersenyum tepat di manik mataku. Membuatku merasakan kekuatan tersendiri.

Karena sekedar obrolan singkat kami akan berakhir dengan sesuatu yang bermakna. Setidaknya memberiku sesuatu untuk diingat, untuk dikenang.

Aku tersenyum mengingat semuanya tentang kamu kak, lalu apa kabarnya kamu sekarang? Aku kehilangan kamu kak. Aku butuh kamu.

Kakiku melemah. Aku seakan melayang. Kalau-kalau tidak segera berpegang pada dinding di hadapanku, aku yakin justru akan bertatapan dengan lantai putih.

"Dek?! Lo kenapa? Astaga! Badan lo panas gini!"

Itu suara Kak Temmy yang masih dapat ku dengar walau samar. Usapan lembut tangan Kak Temmy di dahi dan rambutku, membuatku sedikit lebih tenang. Ia membantuku berjalan ke arah kamar sebelum menelepon Dr. Wisnu, dokter pribadi keluarga kami.

"Ya Tuhan dek, jangan bikin kakak panik kenapa sih?!" Hanya itu kata-kata yang sempat ku dengar sebelum semuanya gelap.

***

Badanku terasa ringan. Aku masih mengenakan baju yang tadi ku pakai saat ke kampus. Masih pula dengan basah dan kotor di tempat yang sama. Hanya saja kini aku ada di tempat yang aku tidak tau dimana.

Tunggu.

Aku tau. Ini... harum parfume ini...

Aku memejamkan mata, sebisa mungkin untuk menyimpan sebanyak-banyaknya harum parfume miliknya dalam rongga paru-paruku. Berharap bisa terus kuhirup harumnya.

"Bajumu basah. Kotor juga celananya. Kamu abis hujan-hujanan ya?"

Suara ini...

Tes.

"Kak?" panggilku masih dengan mata terpejam. Entahlah tapi aku takut kalau aku membuka mata, aku kehilangannya lagi.

"Kamu nakal. Masih aja nyari sisi romantis hujan. Hujan itu bisa bikin kamu sakit, Ta."

"Tapi aku kangen hujan kak. Aku kangen hujan sama kaya aku kangen sama kakak!"

Tetes-tetes air mata itu lebih nakal turun ke pipiku, keluar dari sudut mata terpejamku.

Lalu harum parfume-nya hilang. Aku mengerang karena lagi-lagi ia menghilang begitu saja. Apa aku tidak boleh berkata begitu kak?

***

"Ta?" Mama mengguncang bahuku pelan. Membangunkanku sebisa mungkin.

Aku membuka mataku yang sudah basah. Rupanya aku benar-benar menangis.
Ku lihat mama tersenyum di balik wajahnya dengan keriput-keriput halus. Aku lantas memeluknya. Lalu mama berbisik halus, "Bukannya udah mama bilang jangan nangis lagi? Kalo cantikmu luntur aja baru tau kamu!" Mama melepas pelukannya lalu berkata lagi, "Itu Kak Temmy, kakak kamu. Untung dia pulang ga lama dari kamu sampe rumah. Kalo telat dikit, itu muka kamu ketemunya sama lantai." Aku tersenyum merasa bersalah.

Lalu Kak Temmy masuk dengan semangkuk bubur di tangan dengan lengan kemeja yang sudah digulung sesiku. Ia tersenyum sebentar saat tahu aku--adik perempuan satu-satunya--sudah sadar dan sudah berbincang dengan mama. Ia berjalan menghampiri kami, lalu duduk di tepi ranjang, di sebelah mama.

"Nih, makan," katanya sambil menyodorkan satu sendok bubur.

"Ih gue bisa makan sendiri kak!" tolakku.

"Ga. Cepet makan. Hujan mulu diurusin. Ga kasian apa mama panik gitu?"

Lalu amarahku terasa tersulut karena ucapannya, "Apaan sih? Siapa juga yang ngurusin hujan? Orang emang hujan dari kampus. Trus gimana? Kalo nunggu hujan reda ya jam dua belas malem baru sampe rumah!" sungutku.

Ia mendesah sebelum beranjak berdiri, ia memberikan semangkuk bubur pada mama.

"Nih ma, aku mau ke kantor lagi. Princess-nya udah sembuh kan? Tuh udah bisa marah-marah!" Ia terkekeh sebentar sebelum ku lempar dengan bantal.

Ternyata aku dijebak.

"Ngapain pulang kalo cuma buat ngeledek? Huh!"

Lalu mama kembali menyuapiku dan kami berbincang antara ibu dan anak.

Tak lupa ku ceritakan mimpiku karena mama bertanya tentang air mataku yang tak lain memang karenamu kak.

***

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang