6.

4.2K 73 2
                                    

"Ta!"

"Talitha!"

Aku menoleh karena Ana yang setengah berlari di belakang menepuk pundakku, lebih tepatnya menarik. Aku memandangnya malas.

"Hm?"

"Jangan marah sama Ricky ya! Dia mulutnya emang deh main ceplas-ceplos aja. Ya ya ya?"

Aku menatap Ana yang sesekali membenahi letak totebag yang dipakainya di pundak kanannya.

"Na, gue cuma ga mau kaya ngasih harapan ke Noah."

"Iya gue ngerti. Nanti gue bilangin ke Ricky deh."

Lalu Ana menarikku ke tempat duduk di koridor kampus. Ia menatapku intens, "Termasuk yang kemaren?"

Aku menganggukan kepalaku dengan mata tetap memandangnya.

"Nicho?" tanyanya hati-hati, membuat keningku mengernyit heran dengan kedua alis bertaut.

"Lo berapa lama temenan sama gue, huh? Gue tau lo masih kepikiran sama 'kakak' lo itu." jawabnya dengan menekankan kata 'kakak' di ucapannya.

Ana, salah satu teman yang sudah ku kenal di universitas ini sejak aku mendaftar. Lain halnya dengan Mandy, Ana lebih tau sisi-sisi lain tentang diriku, sekalipun tanpa aku ceritakan, Ana cukup peka dan perhatian dengan itu. Dan mengenai Ricky, ia adalah teman kami di salah satu kelas umum. Ricky resmi menjadi kekasih Ana sejak enam bulan yang lalu. Sosok pria humoris dan banyak bicara, seakan melengkapi Ana yang lebih banyak diam dan memperhatikan sekitarnya, sosok yang dewasa.

"Apaan sih lo?" Aku tersenyum, entah untuk apa saat mendengar ucapan Ana.

Ana mengusap pundakku lembut lalu memandangku dengan tatapan yang entah aku tak bisa mengartikannya. Tapi dengan menatapnya sekarang, senyumku lenyap lalu menatap Ana tajam.

"Ok. You got it. I will explain you about yesterday."

"Yes, please."

Ana menantiku menjelaskan dengan sabar. Aku menghela napas sebelum memulainya. Mengatur kepingan memori di hari kemarin.

"Kemaren, Noah punya dua tiket premier buat nonton film sepupunya. Semacem promosi gitu sih yang gue tangkep. Tadinya cuma ngajak gue, tapi ternyata dia ada dua tiket lagi. Jadi Mandy ngajak Kak Temmy."

"Mandy ajak kakak lo? Serius?" Tawa Ana meledak begitu saja.

"Lo ga tau aja si Kak Temmy sempet ngomel dulu ke gue. But that's not the point. Hm. Akhirnya kita jalan, sama Kak Temmy juga. Cuma lo tau? Gue ngerusak semuanya."

Ana diam. Masih menungguku melanjutkan ceritaku.

"Gue pergi di tengah-tengah film. Lo tau kenapa?"

Ana menggeleng sebagai jawabannya, membuatku melanjutkan ceritaku.

"Kemaren, tepat setahun Kakak pamit ke gue. D-dan ya, ga tau deh."

Maaf kak, lagi-lagi air mata nakal itu menggenang begitu saja tanpa sepengetahuanku.

Aku menghapus air mata yang belum sempat terjatuh dengan kasar, mengatur napas dan suaraku yang bergetar begitu saja.

"Maksud gue, gue... maksud gue, lo tau ga sih? Noah tadi pagi jemput gue. Pas di motor, gue sempet nyinggung soal kemaren, tapi dia nyuruh gue diem soalnya bisa ganggu konsentrasi dia."

Ana tersenyum.

"Kenapa Noah ga marah aja sih sama gue? Itu bakal lebih gampang kali. Gue ga enak ini."

"Mana Ricky segala kompor tadi." Aku mendelik ke arah Ana yang sekarang menampilkan wajah hendak tertawa.

"Nanti gue bilangin ke Ricky. Sorry, sorry haha!"

Sesaat tak ada suara di antara kami berdua. Mungkin hanya aku yang sibuk dengan pikiranku karena Ana sudah membuka handphone-nya dan mengeceknya. Lalu memasukannya kembali dan kembali memfokuskan diri.

"Well sorry tadi nyokap SMS gue," sesalnya karena sempat mengabaikanku sejenak.

"Ta. Menurut gue, mestinya lo bersyukur. Gue pikir, Noah tulus sama lo."

Ana masih menatapku lembut, lalu dua kalimat darinya membuatku terhenyak.

"Gue ga mau ikut campur urusan lo. Tapi, mungkin udah saatnya lo lupain Nicho."

Ana menepuk punggung tanganku lembut sebelum pergi meninggalkanku sendiri dengan pikiran yang terus menggemakan ucapannya barusan.

Apa ini memang yang seharusnya terjadi?

***

Kamu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang