Nyanya - Seperti Lucien Audric

13.2K 1.2K 136
                                    

Aku mengintip dari balik tirai kamar kostku ke teras rumah kost di seberang jalan. Cowok bule berambut pirang itu masih betah menunggu di depan rumah kost teman masa kecilku, Daiva. Sudah dua jam lebih ia di sana. Duduk gelisah dikursi plastik yang berderit-derit ketika ia menggeliat tak nyaman. Cowok sama yang menyatroni kampus kami di Dipati Ukur selama satu minggu ini. Cowok yang memaksa Daiva mengungsi dari kostnya di depan sana untuk menyempil di kamar kostku yang sempit selama tiga hari ini.

Dari Daiva aku tahu, cowok keren itu bernama Lucien Audric. Daiva memanggilnya Luc. Lucien anak orangtua angkat Daiva di Provence, kota kecil di selatan Perancis, tempat Daiva ditempatkan selama beberapa bulan dalam kegiatan pertukaran mahasiswa. Keberuntungan Daiva yang lolos seleksi pertukaran mahasiswa dan tinggal di salah satu kota di Eropa sudah membuatku beberapa bulan ini diliputi perasaan iri setengah mati pada cewek yang saat ini sedang menggigit potongan pizzanya dengan penuh semangat. Dan begitu ia kembali ke Bandung, rasa iriku semakin tak terbendung begitu aku mendapati kenyataan tak sampai satu bulan setelah kepulangannya, seorang cowok bule paling keren yang pernah kulihat mengejarnya menyeberangi separuh dunia demi mengemis cinta.

Aku menutup tirai dan berbalik menatap mahluk beruntung yang masih asyik menggerogoti bagian pinggir pizza yang hangus.

"Pacar lo masih betah di depan kost lo tuh," kataku dengan nada sedatar mungkin, berusaha mati-matian menyembunyikan kesan iri dari ucapanku.

"Dia bukan pacar gue lagi," ujar Daiva dengan mulut penuh.

"Lo becanda ya, Dai? Cowok sekece itu? Diputusin?" selaku, lalu merangsek maju ke tempat tidur mungil yang menampung tubuh Daiva.

"Kenapa sih?" keluh Daiva, wajahnya terlihat lelah ketika menatapku.

Aku menghela nafas melihat lingkaran gelap di bawah mata lebar cewek berkulit bersih itu. Jelas Daiva tak tidur. Aku tahu sepanjang malam selama tiga hari ini ia terjaga dalam kondisi menangis diam-diam. Menangisi siapa lagi jika bukan si Keren yang sedang kepanasan di seberang jalan.

"Kalo gue, dapet bule kece dan perhatian begitu, udah gue kekepin. Bener deh."

"Lo udah punya Bagas, kenapa harus ngekepin cowok lain?" Daiva balik bertanya.

Aku mengangkat jari telunjukku menggoyangkannya di depan muka Daiva, "Bagas gak secakep si Lucien itu. Separuhnya juga enggak."

"Nyak, Bagas itu baik. Sayang banget sama lo. Kurang apa jadi pacar ideal?"

"Tapi kan..."

Daiva menghela nafas, "Sudahlah Nyak, syukuri aja apa yang ada. Hubungan lo dan Bagas itu nyaris sempurna. Bagas itu cinta sama lo. Dan walaupun lo sering ngomelin Bagas, gue tau lo juga sayang sama dia. Lagian hubungan kalian itu hubungan yang tau akan dibawa kemana nantinya. Kalian gak punya perbedaan besar yang sulit dicari jalan keluarnya. Sedangkan gue dan Luc jelas nggak punya masa depan. Jika gue memaksakan perasaan, nantinya hanya akan menyakiti orang-orang yang kami sayangi," ujar Daiva dengan nada getir.

Aku diam saja, malas membalas omongan Daiva yang memang pada dasarnya benar. Aku mengernyit ketika kulihat Daiva meraih potongan pizza ke empatnya.

"Dai, berhenti! Itu sudah potongan ke empat. Lo gak kenyang-kenyang apa?" tanyaku ngeri.

Daiva menyeringai, "Cuma dengan makan gue nggak mikirin Luc. Kalo gue nggak makan sekarang juga gue akan melompat ke seberang jalan dan memeluk dia, Nyak."

Kalimat itu diucapkan dengan seringan mungkin lalu sedetik kemudian potongan pizza itu sudah menyumpal masuk ke mulut mungil gadis itu. Ia mengunyahnya dengan cepat lalu begitu selesai Daiva menatap potongan ke lima di karton dengan mata berair.

NyanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang