Aku melihat seberkas cahaya. Rasanya sangat mengganggu. Cahaya itu semakin lama semakin mendekatiku.
"Yana-chan?"
Aku mendengar suara yg sangat familiar di telingaku. Aku berusaha memusatkan pandanganku.
"Yana-chan? Kamu baik-baik saja kan?"
"A...Yo...Yoshiro?"
Wajah Yoshiro tiba-tiba berubah menjadi menyeramkan. Aku kaget. Ini anak kenapa lagi sih? Kenapa jadi jelek begini? Ah, salah. Emang aslinya udah jelek. Bisa dikata wajahnya sekarang ini adalah...buruk rupa? ._.
SRET!
Yoshiro tiba-tiba menempelkan dahinya ke dahiku. Tangannya menyilakkan poniku ke atas. Sial. Wajahku terasa sangat panas. Rasanya ingin meledak. Aku membeku. Badanku tak bisa kugerakkan. Sentuhan tangan Yoshiro membuatku serasa mau mati.
"Istirahatlah hingga bel pulang. Nanti aku antar kau ke rumahmu dan kurawat kau."
...
Aku terdiam.
"Iya." aku menjawab lirih. Kerongkonganku terasa kering. Aku tak sanggup mengeluarkan suaraku.
------------------------
Bel tanda berakhirnya pelajaran pun berdentang. Yoshiro benar-benar mengantarku pulang. Kepalaku masih terasa berkunang-kunang. Disepanjang perjalanan, aku berkali-kali hampir jatuh. Bahkan aku sempat jatuh sekali. Di saat itu pula, Yoshiro langsung merah tanganku dan menggendongku.
Panas sekali rasanya. Seperti ada sesuati yang mengganggu kepalaku. Ada semacam benda kecil yg mengganggu kepalaku. Ini sungguh menyiksaku.
Sampailah kami di rumahku. Yoshiro mengantarku sampai dalam. Setelah ia menaruhku di atas ranjangku, ia langsung beranjak menuju dapur. Nampaknya, ia akan memasakkanku sesuatu. Setahuku, Yoshiro itu paling payah soal memasak.
Aku setengah sadar. Nampaknya Yoshiro telah selesai memasak. Tidak. Aku mendengar jeritan dari arah dapur. Aku juga mendengar tangisan dari sana.
Tanpa berpikir panjang, aku segera turun dari ranjangku, menghampiri Yoshiro sambi melangkah terhuyun-huyun. Beberapa kali aku terjatuh, tapi aku segera bangkit lagi. Bagaimanapun juga, badanku sudah terbiasa bergerak jika mendengar suara tangisan Yoshiro.
Benar seperti dugaanku. Yoshiro terduduk di depan kompor. Tangannya teriris pisau. Aku segera mengambil kotak p3k dan mengobati lukanya.
"Yana-chan...kamu tak apa-apa? Kamu sakit kan?"
"Justru aku lebih khawatir kalo kamu kenapa-kenapa. Aku tak peduli keadaanku, selama aku bisa melindungimu."
Setelah aku selesai berbicara dan mengobati, tiba-tiba saja mataku semakin berat untuk kubuka. Perlahan-lahan tubuhku melemah.
BRUG!
"Yana-chan!"