part 6

2 1 0
                                    

Sebulan berlalu. Sebenarnya, aku setiap hari dihabisi oleh geng Murasaki. Tepatnya yang menghabisiku adalah anak buah Murasaki. Hana dan Annie. Tapi mereka berdua dan bahkan bosnya sendiri berkata bahwa aku harus bungkam atau mereka akan melakukan hal yang lebih jauh lagi. Aku tak ingin mengambil resiko dan akan tetap bungkam. Sebenarnya apa yang sudah mereka perbuat itu bisa dikata 'penindasan berat'. Segini saja sudah kejam. Bagaimana dengan yang lebh jauh?

Belakangan ini aku lebih sering menunda naskahku. Tentu saja dibalik semua itu karena kondisiku yang makin memburuk. Tapi tak apa. Bagiku ini masih benar-benar 'normal'.

"Yana-chaann!! Aku baca naskah barumu doongg..." pagi-pagi sekali Yoshiro sudah menagih naskahku.

"Aaa...belom ada lanjutannya lagi. Hehehe..." sahutku sedikit menyeringai.

"Oiya ngomong-ngomong, bulan ini aku tak liat karyamu di majalah. Ada apa denganmu? Lagi ada acara? Atau jangan-jangan, kamu lagi jatuh cinta dengan seseorang dan sedang sibuk kencan?"

"Ih, ngelindur ini anak. Nggaklah! Aku tak mungkin tertarik dengan seorang pria sekarang ini! Hanya saja, orangtua ku minggu kemarin pulang ke sini, jadi aku menghabiskan waktu bersama keluarga." sahutku bohong.

"Begitu?"

"Ha? I...iya."

"Ohh...yasudah."

Yoshiro berkata sambi berlalu. Dirinya tersenyum. Senyumnya nampak begitu alami dan dewasa. Tumben-tumbennya anak ini tersenyum dengan pola begini.

------------------------

Bel pulang pun berbunyi. Seperti biasanya, Murasaki reflek menghampiri Yoshiro dan segera menyambut tangan Yoshiro yang sebenarnya masih bersiap di mejanya.

Dan aku seperti biasanya, bermalas-malasan di mejaku. Siap untuk ditindas seperti biasanya. Itu sudah menjadi sarapan sore sehari-hariku.

"Yana-chan, ayo pulang."

He? Aku mendengar sesuatu. Ah, paling-paling ajakan untuk memulai 'sesi' penindasan hari ini. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja sambi menatap jendela.

PLETAK!

Kini aku menoleh. Aku merasakan ada benda asing menghantam kepalaku. Ternyata Yoshiro. Tunggu, Yoshiro? Buat apa dia menghampiriku?

Yoshiro menyodorkan tangannya padaku. Aku hanya terdiam dan menatap sodoran tangannya nan putih itu.

"Ayo cepetan pulang! Dasar nona pemalas!"

"He? Bukannya kamu harusnya mengantarkan Murasaki pulang ya?"

"Tidak, tugasku sudah selesai. Jadi, aku tadi mengatakan padanya dan kami pun kembali ke rutinitas sehari-hari."

Aku segera berdiri dan berjalan mendahului Yoshiro. Yoshiro pun segera mengejarku.

Saat perjalanan, tumben-tumbennya kami terdiam. Jelas saja, sudah 1 bulan kami tak pulang bersama.

"Hei, Yana-chan! Aku punya info bagus lho!"

"Info apa?" jawabku acuh tak acuh. Sebenarnya aku juga lagi malas berbicara sih.

"Katanya, orangtua kandungku udah ketemu lho!"

Aku terbelalak.

Baiklah, aku akan bercerita sedikit. Jadi ceritanya, Yoshiro ini kehilangan orangtua nya sejak ia berumur 10 tahun. Ceritanya, Yoshiro mengalami kecelakaan. Dia ditabrak sebuah bus. Tapi dia tak bisa mengingat apapun.

Pada awalnya, dia benar-benar tak tau apapun. Namun perlahan, dia mengingat sedikit-sedikit. Itupun hanya sebatas nama, tempat dia sekolah, tempat ia tinggal, dan teman2nya di sekolah. Untuk yang lainnya, dia benar-benar tak mengingatnya.

Di sini, dia tinggal disebuah apartement kecil. Awalnya di bertanya-tanya, kenapa dia bisa ditanggal di apartement itu. Dan mengapa dia tak tinggal bersama orangtua nya. Dan pemilik apartement itupun tak mengerti latar belakang Yoshiro. Karena katanya, dulu Yoshiro berkata "tak usah bertanya lagi. Aku di sini hanya sedang berpetualang dan bosan berada di rumah". Saat itu, Yoshiro berbicara dengan bahasa jepang yang aneh kata sang pemilik apartement.

"Oh ya? Wah, seneng dong kamu bisa ketemu orangtuamu akhirnya?"

"Umm...sebenarnya aku senang. Tapi aku juga sedih."

"Eh? Kenapa? Setelah 7 tahun akhirnya kau bisa bertemu keluargamu, seharusnya kamu senang kan?"

"Tapi, aku harus pindah. Aku akan meninggalkan Jepang selamanya."

Kini aku benar-benar kaget. Meninggalkan Jepang? Itu artinya orangtua Yoshiro bukan orang Jepang kan? Dan itu artinya, jarak kami berdua sangatlah berjauhan.

"Tak bisakah kamu menoleransi orangtuamu untuk tetap tinggal di Jepang?"

Yoshiro menggelengkan kepalanya sambi menunduk. Nampaknya ia begitu sedih. Perlahan aku melihat ada seseuatu yang mengaliri pipi Yoshiro. Aku hanya dapat terbelalak dan melongo.

Kini Yoshiro tak dapat membendung tangisnya lagi. Ia terisak. Aku tak tau apa yang harus ia tangisi. Setauku, dia di sini biasa-biasa saja layaknya murid pada umumnya.

"Bodoh! Kenapa harus menangis? Apa yang kau tangisi? Tak ada yang perlu kau tangisi! Dasar lemah! Usap air matamu! Kamu laki-laki kan?"

Yoshiro justru lebih memperkencang suara tangisnya. Aku benar-benar tak tega melihatnya begini.

"Yoshiro! Diam! Kenapa kau menangis? Siapa yang kau tangisi? Ha?"

"Kamu! bodoh!"

Aku terdiam. Aku? Kenapa aku?

BRUG!

Yoshiro tiba-tiba memelukku erat. Tunggu dulu, kenapa ini anak satu? Aku lagi-lagi membentak Yoshiro.

"Diam! Kalo aku bilang diam ya diam!"

"Berisik! Apa salahnya memeluk orang yang ku cintai di saat aku akan berpisah dengan orang ku cintai?!"

Rasanya seperti ditampar angin. Hatiku berdegup kencang. Oke, untuk kali ini, bisa dikata sangat kencang. Rasanya seperti Yoshiro menembakku saat ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 06, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kokoro no KotoWhere stories live. Discover now