Only Learned Bad Things - part 3

2.4K 26 9
                                    

(Baro POV)

       Brraakkk!! Seseorang terdengar seperti sedang membanting hanger pakaian yang sedang dipegangnya. Bunyinya memang tidak keras, tapi cukup untuk membuatku (yang tak jauh dari sumber suara) menoleh. Ternyata yang tadi dibanting adalah T-shirt berwarna rose pink dan hot pink. Cheonsa-ssi?

        Segera aku keluar darisana mengejar Cheonsa-ssi yang tadi juga keluar dari toko itu setelah membayar kaus biru yang tadinya hanya kucoba saja. Untungnya dia hanya seorang yeoja. Kecepatannya berlari tidak sebanding denganku. Tentu saja aku berhasil mengejarnya.

       “Cheonsa-ssi!” Aku membalikkan tubuhnya dengan paksa. Tidak sulit, tentu saja tidak sulit karena dia seorang yeoja. Dia, Cheonsa-ssi, dia menangis. “YAK!”

      Dia terus saja menangis meskipun aku sudah membentaknya. Menyebalkan! Kenapa sih yeoja cuma bisa menangis? “Kau! Apa-apaan tadi?! Tiba-tiba meninggalkanku sendirian kemudian berlari sambil menangis? Apa kau tidak menghargaiku heh? Kau datang bersamaku, maka kau juga harus pergi bersamaku! Arrasou (mengerti)?!”

       Cheonsa-ssi masih terus menunduk tapi aku masih bisa melihat air matanya yang menetes. “Lalu bagaimana denganmu? Apa kau menghargaiku? Apa kau menghargaiku sebagai yeojachingumu?”

       “Yak! Apa-apaan pertanyaanmu itu? Tentu saja aku....”

       “Kau bilang jika datang bersama harus pergi bersama pula. Lalu, apa kau selalu ada bersamaku? Kemana kau saat aku menatap pasangan lain yang bergandengan tangan dengan iri?” Berani-beraninya dia memotong ucapanku! “Apa yang ada di pikiranmu saat yang kuiinginkan hanya sedikit pujian darimu? Ada dimana kau saat aku ingin menghargaimu dengan menanyakan pendapatmu? Sebenarnya siapa yang lebih tidak menghargai pasangannya?”

       “Cheonsa-ssi....”

       Mata itu, mata yang baru saja kusadari kalau mata itu begitu mempesona malah semakin redup sinarnya begitu aku memanggil nama pemilik mata itu. “Dan kau masih memanggilku ‘cheonsa-ssi’ disaat aku ingin mendengar kata ‘jagiya’ dari mulutmu.” (jagiya, panggilan untuk pacar.red);

***********

(Cheonsa POV)

       Sudah seminggu sejak kejadian aku meninggalkan Baro yang masih menatapku tajam setelah perdebatan itu. Ya, aku meninggalkannya begitu saja tanpa kata-kata lainnya. Aku bahkan belum meminta maaf karena sudah bersikap seperti itu padanya. Aku tidak keberatan untuk meminta maaf padanya, mungkin ini salahku. Bukankah aku yang sudah berkata pada diriku sendiri untuk siap menerima Baro bagaimanapun perlakuannya terhadapku?

        Berkali-kali aku menelepon Baro tetapi hasilnya tetap sama. Begitu terdengar nada sambung, tak lama kemudian terdengar nada telepon diputus. Baro, apa kau benar-benar marah padaku? Lihatlah aku Baro! Aku sedang berjuang meminta maaf padamu. Maafkan aku, Baro.. Maafkan aku...

       Aku mengambil iPhone-ku dengan putus asa. Selagi menunggu tersambung, aku menatap pada kalender hari ini yang sudah kutandai dengan spidol. Tertulis ‘my birthday’ disana.

       Aku menggigit bibirku berharap Baro secara sengaja atau tidak sengaja menekan tombol hijau dan mengangkat telpon dariku. Kumohon Baro, biarkan aku berbicara. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku tidak butuh kejutan, aku tidak butuh hadiah, aku tidak perlu ucapan selamat darimu. Cukup agar hubungan kita baik-baik saja. Bukan yang seperti ini.

       Tuuutttt... tuuuuuttt.... tersambung! Dan... Klikk!!! Diputuskan..

        Aku menghela nafas panjang dan lagi-lagi menatap kalender itu. Meskipun mataku tertuju pada kalender, pikiranku tertuju pada Baro. Baro, apa mungkin ini semua merupakan salahku sejak awal? Apa aku yang terlalu memaksanya untuk menjadi namajachinguku? Apa aku terlalu mengekangnya?

Only Learned Bad Things (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang