Sudah dua hari aku berada di rumah sakit ini, dan ini adalah hari ketiga semenjak hari dimana kedua orangtua ku mengalami kecelakaan. Keadaan ku mulai berangsur-angsur membaik, dimana aku sudah bisa duduk di kasurku dan berjalan -walaupun hanya berjalan di sekitar kamar. Selama aku di rumah sakit ini, aku tidak pernah berbicara kepada siapapun. Baik dengan dokter, para suster, dan pria berambut hitam yang kuketahui namanya adalah William. Ya, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Itu membuat para perawat dirumah sakit ini sedikit khawatir dan iba padaku. Mungkin mereka iba karena menurut mereka aku hanyalah gadis berusia sepuluh tahun yang malang karena telah kehilangan kedua orangtuanya yang mengalami kecelakaan.
Untuk yang ke sekian kalinya, aku hanya berdiam diri diatas tempat tidur ku. Tanpa melakukan apapun, tanpa memandang apapun, tanpa memikirkan apapun. Aku menatap kosong keluar jendela kamar yang terhubung menuju taman rumah sakit. Sekilas aku dapat melihat beberapa pasien yang memakai piyama mirip seperti yang ku kenakan berjalan-jalan di sekitar taman, mungkin ingin mencari udara segar. Maklum, mungkin mereka semua bosan jika harus terus-terusan berada di kamar tanpa melakukan apapun. Tapi mungkin tidak untuk ku. Entah kenapa, aku lebih suka berdiam diri di kamar rumah sakit dan tidak melakukan apapun seperti saat ini. Jika bosan pun, mungkin aku akan bangkit dari kasur ku, dan berdiri di depan jendela rumah sakit yang terhubung pada taman.
Seperti yang kuduga, pria bernama William itu datang lagi. Dan seperti biasa pula, aku menyambutnya dengan keheningan.
"Selamat pagi Ciel" sapa pria itu dengan senyum khas nya. Jujur saja, aku salut dengan pria ini. Dia berbeda dengan para perawat yang ragu untuk mengajak ku berbicara -karena aku selalu diam walaupun mereka berbicara sebanyak apapun. Selain itu, berbeda dengan dokter dan para suster disini, William tidak merasa gugup saat matanya kutatap lekat-lekat.
"Apa kabar? Apa semalam tidur mu nyenyak?" Aku tau, William pasti menanyakan ini setiap pagi. Tapi seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya diam. Yang kulakukan hanyalah menatap mata coklat gelapnya yang dalam dan terasa... hangat.
Sebuah senyum masih terukir di wajahnya yang cukup tampan untuk seorang pria yang telah memasuki kepala empat.
"Tebak, apa yang kubawa hari ini?" Ia menyembunyikan sesuatu dibalik tubuh tegapnya. Aku tidak tau itu apa, tapi dari aromanya sepertinya...
"Ini cake kesukaan mu~" ia memberi ku sebuah kotak dengan tulisan nama cake shop ternama di kota ini.
Walaupun aku hanya diam dan jarang menunjukan ekspresi -atau bahkan tidak pernah lagi-, sepertinya William tau bahwa aku sangat suka cake. Menurutku satu-satunya di dunia ini yang terasa manis bagi ku adalah cake.
Dapat kurasakan senyum William merekah saat ia melihatku memakan cake yang ia beli dengan lahap. Tapi aku tidak peduli, yang kupedulikan hanyalah cake ini. Yah, bukannya aku tidak mau berterimakasih...
"Ciel" tangan William mengusap bibirku. Aku sedikit terkejut, lalu ku tatap matanya yang coklat itu. "Pelan-pelan makannya. Lihatlah noda pada bibirmu" sekali lagi, William tersenyum hingga kedua irisnya tidak tampak. Senyum yang begitu hangat dan menenangkan, mengingatkan ku pada sosok ayah walaupun aku tidak ingat bagaimana rupa ayahku.Setelah menemani ku memakan cake, William bangkit berdiri dari kursi yang berada di samping tempat tidur pasien. Seperti biasanya, sebelum pergi William mengusap helaian rambutku dengan lembut.
"Aku harus menghadiri meeting. Sampai jumpa nanti" aku memang tau bahwa William adalah seorang pemilik perusahaan industri otimotif yang ternama di dunia. Bisa dibilang, William bukanlah orang sembarangan. Selain itu, William Michaelis adalah orang yang berpengaruh di London. Jadi sudah sewajarnya orang seperti dia sibuk dengan meeting dan sebagainya. Tapi orang sibuk seperti dia masih saja menyempatkan waktunya untuk menjenguk ku -yang notabene bukan siapa-siapa. Sungguh, aku tidak mengerti maksdud dari perlakuannya kepadaku.
"Nanti sore aku akan datang untuk menjenguk mu. Dan ada seseorang yang ingin kuperkenalkan kepadamu" ia tersenyum, dan mengecup puncak kepalaku layaknya seorang ayah.
Sekali lagi, aku hanya menatapnya tanpa berbicara apapun. "Baiklah, sampai nanti Ciel" ia membawa mantelnya yang tadi ia letakan di sandaran kursi, lalu melangkah pergi meninggalkan ruanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundless Voice
RomansaCiel yang telah kehilangan kedua orangtuanya akhirnya bertemu dengan Sebastian... bagaimana hubungan antara Ciel dan Sebastian? Warn: Ooc, typos (everywhere), fem ciel, angst (maybe)