Chapter 3: A Meaning.

429 19 1
                                    

Kunjungan Clara hari ini diawali dengan hal baik-yang agak aneh, sebenarnya. Juga tidak pernah Clara bayangkan akan ia lihat sebelumnya.

Senyum. Seorang. Frater. Timothy.

Senyuman penuh kebahagiaan-bahkan, Clara melihatnya berlari-lari riang kesana kemari.

"Clara!"

Kembali, namanya disebut. Oh, jujur, Clara menyukai caranya menyebut Clara.

"Coba tebak, coba tebak!"

"Oooh, tenang-tenang." Clara tertawa kecil. Agak asing baginya melihat Timothy ceria seperti ini. "Ada apa?"

"Aku akan dilantik menjadi Pastor!" Semangat yang begitu besar terdengar di kalimat itu. Sungguh, berbeda dari Timothy yang biasa.

"Sungguh?!" Clara ikut tampak bahagia. Aneh, padahal mereka hanyalah sebatas teman belaka. "Bagus! Aku turut senang denganmu!"

"Aku harus memberitahukan semua Frater tentang ini! Baik, sampai jumpa!"

Begitu cepat. Rasanya baru sekian detik mereka berbicara, Timothy sudah berlari menuju rumah para Frater, meninggalkan Clara yang tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.

------

Peristiwa beberapa hari lalu membuat Timothy agak berbeda dari biasanya. Dan hal itu dirasakan oleh para rekan Fraternya. Terutama salah satu yang cukup dekat dengannya, Jacob.

Jacob memang menyadari kalau Timothy adalah seorang yang memiliki banyak bakat-walau sifatnya terkadang agak menyebalkan-namun, Frater yang lebih tua dia tahun darinya itu jarang memanfaatkan bakatnya dengan maksimal.

Salah satunya adalah, bermain musik. Sebenarnya Timothy cukup handal memainkan gitar. Namun, jika Jacob tidak menghitung saat-saat ia memergoki Timothy memainkan gitar secara diam-diam, ia tidak pernah melihat sahabatnya itu memegang alat musik.

Tapi, hari ini?

Jacob melihat Timothy bersadar di tembok, memetik gitar, memandangi pemandangan malam Rumah Retret di bawah sana.

Sekilas, Timothy benar-benar terlihat galau. Tetapi, bukannya simpati, Jacob malah ingin tertawa. 'Seorang Timothy Broadster? Galau? Yang benar saja.'

"Hei, kawan." Daripada terus menerus memperhatikan Timothy dari belakang, Jacob pun memutuskan untuk menyapa Timothy. Ia duduk di sebelah kawannya-diatas sebuah tembok rendah.

Timothy menengok, tidak ada perubahan ekspresi yang kentara di wajahnya. Seperti biasa, Frater yang termasuk golongan 'senior' ini tenang. "Oh, kau. Ada apa?"

"Tiiiiidak!" Jacob tersenyum. "Justru kau yang ada apa, 'Kak."

Timothy mengerutkan keningnya. 'Ada apa? Tapi, aku baik-baik saja, dan dia tahu itu, kan?'. "Aku baik-baik saja."

Sang surai cokelat, Jacob, menarik nafas. "Well, jika kau mengatakan hal itu pada orang yang melihatmu galau dan memainkan lagu cinta anak remaja, padahal seharusnya ia berpesta bahagia, tentu orang itu tidak akan percaya."

Dengusan meremehkan, merendahkan lolos dari bibir sang senior. "Aku? Galau? No way."

'Mana mungkin ada Frater yang mengaku kalau ia galau,' batin Jacob dengan ekspresi 'you-don't-say'. Terutama, seorang Frater bernama Timothy yang memiliki gengsi setinggi langit. Untungnya, surga masih lebih tinggi daripada gengsi teman sekamarnya itu.

Seorang Frater muda berlari-lari, dengan terburu-buru mendekati kedua seniornya. Keduanya pun menengok. Namun, Jacoblah yang ambil bicara terlebih dahulu.

Falling in You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang