Chapter 1: A Meeting.

539 22 7
                                    

Burung-burung berkicau riang, mengiringi suara tiupan angin yang menggerakan dahan-dahan, juga menerbangkan rambut merah seorang gadis. Gadis itu tidak membetulkan rambutnya, sebab satu tangannya sibuk memegang kamera DSLR miliknya, sememtara satunya memegang lensa kamera. Pandangannya pun terfokus pada sebuah objek-Seekor kepik betina di pinggir kelopak bunga-.

Klik.

Jepret.

Dan gambar tersebut pun muncul di layar kamera D60 hitam milik Clara. Senyuman tersungging di wajah gadis itu, puas karena hasil jepretannya. Clara membungkuk, mendekatkan kameranya pada bunga Anyelir putih.

Fokus sudah pas, jari telunjuk Clara hendak menekan tombol di bahu kamera. Namun..

"Hei!"

Sebuah teriakan mengagetkan Clara. Membuatnya mengangkat kepala, membatalkan niatnya mengambil gambar berbunga tersebut. Sosok seorang pemuda berpakaian putih-hitam tertangkap oleh netranya-sedang berlari.

Clara memiringkan kepalanya. Rasanya pakaian yang dikenakan pemuda itu tidak asing baginya.

Ah, Clara ingat.

Pakaian panjang itu, menyerupai sebuah gaun, adalah pakaian para Frater(*).

'Bagaimana dia bisa berlari dengan pakaian itu?' batin Clara.

Beberapa detik kemudian, sang Frater tiba di hadapan Clara. Dengan nafas sedikit tersengal-sengal. Pemuda itu lebih tinggi sekitar 20 senti dari Clara, dan rambutnya berwarna hitam opal.

"Kau tidak boleh mengambil gambar disini," ucap sang Frater, tegas.

Clara tampak terkejut mendengarnya. "Ke-kenapa?"

"Karena.." Si Frater menarik nafas. Tampaknya berlari dan langaung berbicara menghabiskan nafasnya. "Kau tahu, ini rumah Retret dan Biara(**). Tidak semua orang boleh masuk kesini."

Clara bukanlah seorang gadis bodoh yang mengganggap alasan si Frater tidak rasional. Sangat rasional, malah. Clara menunduk. Memang salah baginya untuk mengambil gambar di tempat ini. "Maaf." Satu kata keluar dari bibir Clara. Kepalanya terangkat, namun sang surai merah tidak berani menatap sang Frater secara langsung.

Sementara sang Frater, ia hanya memasang tampang datar. Tidak ada rasa bersalah karena membuat seorang gadis menunduk-bahkan, bangga karena bisa menegur seorang gadis. Kebanyakan penghuni biara tidak tega menegur seorang gadis, apalagi para Pastor dan Frater baru.

Seorang pria bertubuh gempal, dengan kepala botak berjalan mendekati punggung si Frater. Dari pakaiannya, terlihat jelas bahwa dia seorang Pastor(***). Sang Pastor menepuk pundak sang Frater. "Tim, biarkan saja dia."

Sang Frater tampak terkejut ketika ia menengok. Bahkan, tidak terima pada kata-kata sang senior. "Tapi, Pastor An-"

"Sudahlah." Pastor itu, Pastor Anthony, tersenyum. "Bukankah kau harus membimbing anak-anak? Biar aku yang bicara dengan nona ini."

Kalah, Frater 'Tim' pun mengangguk. Ia memang tidak bisa melawan perintah seorang Pastor-karena rasa hormatnya, juga pebedaan umur yang cukup jauh. Frater 'Tim' pun melangkah menjauh, menaiki tangga-tangga batu hingga lenyap di balik pepohonan.

Setelah iris cokelatnya mengikuti sosok sang pemuda, kini tertuju langsung pada sang pria di hadapan. Senyuman manis khas Clara langsung terukir-lagi. "Terima kasih, Pastor." Walau bukan orang Asia yang memiliki kebiasaan membungkukan tubuh, Clara membungkuk dalam-dalam kepada sang Imam.

Kepala tanpa rambut itu digelengkan. Berbeda dengan Clara, senyuman sang Pastor lebih terlihat sebagai senyum kebapakan. "Jangan membungkuk pada saya. Dan, tidak masalah, nona...?"

"Clara." Sang empunya nama menambahkan.

"Ah, ya, Clara. Nama saya Pastor Anthony. Dan yang tadi itu, Frater Timothy. Mulai sekarang, kau tidak perlu takut mengambil gambar di sekitar sini."

"Saya rasa Frater Timothy tidak sepenuhnya salah, Pastor," ucap Clara dengan penuh kesopanan serta kehati-hatian. "Saya memang orang asing, seharusnya saya tidak masuk ke daerah ini. Sungguh tidak etis apabila dilihat oleh para peserta Retret."

"Kamu tidak perlu merasa demilian, Nak Clara." Daripada 'nona', sang Pastor menggunakan sapaan 'Nak'. "Semua Fotografer yang datang kemari untuk mengambil gambar, asal tidak mengganggu jalannya kegiatan kami, tidak menjadi masalah bagi kami."

Ada sebuah kehangatan mengalir dalam hati Clara. Perasaan lega, setelah rasa bersalahnya muncul tadi. Senyuman tidak kunjung hilang dari wajah sang gadis. "Terima kasih, Pastor."

Dengan ini, sebuah kegiatan masuk ke jadwal Clara. Secara tetap dan paten.

---------

Frater(*): Calon Imam/Pastor/Romo, pemimpin Misa di Agama Katholik.

Biara(**): Tempat tinggal para Imam/Pastor/Romo. Para Suster juga memiliki Biara mereka sendiri, namun, dalam Rumah Retret di cerita ini, hanya ada Biara tempat para Pastor tinggal, serta rumah para Frater.

Pastor(***): Pemimpin Misa di Agama Katholik.

Falling in You.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang