bagian 2 (Refadhani)

76 1 0
                                    

Hari ini kantor sedikit heboh karena kabarnya anak dari pemilik perusahaan akan datang. Sebenarnya yang heboh adalah pegawai wanita. Kata mereka, anak pemilik perusahaan sangatlah tampan namun sayangnya sudah memiliki anak. Namun ternyata itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk mencari perhatian. Heran. Penampilan mereka berkelas tetapi kenapa sifatnya seperti anak yang baru puber?

Aku berjalan dengan gontai menuju toilet. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di perusahaan. Tadi pagi, Bude mengancam akan mengusirku jika aku tetap bekerja disini. Katanya, jam malamku hanya sampai jam sepuluh dan kemarin malam aku telah melanggarnya. Padahal kami tidak pernah membuat perjanjian tentang jam malam dan kemarin malam itu adalah kali pertama aku pulang lewat dari jam sebelas malam. Sedih rasanya. Padahal ada sedikit harapan jika kelak aku bisa mendapat posisi yang lebih tinggi di perusahaan jika kinerja ku terus bertambah. Tetapi apa boleh buat. Kasihan orang tua dikampung. pasti mereka akan sedih dan khawatir jika tahu anaknya diusir akibat pulang malam.

Toilet yang kutuju ternyata penuh. Ini memang jam istirahat. Aku melangkah pergi. Tadinya ingin cuci muka tapi nanti saja lah. Saat pintu lift akan terutup, seseorang berlari memisahkan kubikel dengan sekuat tenaga lalu masuk dengan napas terengah-engah. Tubuhnya tinggi sekali. Aku belum melihat wajahnya karena dia menghadap ke arah pintu. Ditangannya, terdapat sekotak susu anak. Dia menaruh tangannya yang kosong dipintu sambil menunduk, tidak menyadari ada orang lain juga di dalam. Aku berdiri dengan diam. Dia menuju lantai teratas. Aku diam saja. Toh nanti bisa turun lagi. Ruanganku berada dilantai tujuh. Harus turun tujuh lantai dari tempat yang dituju oleh pria tinggi di depanku. Tiga lantai sebelum lantai teratas, si pria tinggi melepaskan tangannya dari dinding kemudian berdiri dengan tegak. Susu ditangannya tidak sengaja menyentuh tanganku membuatku refleks mengaduh. Dengan cepat tubuhnya berbalik. Wajah herannya berubah dalam sekejab menjadi terkejut dan tidak percaya. Aku mengerutkan kening. Wajahnya tampan sekali. Sebuah kacamata minus bertengger dihidung mancungnya, menyembunyikan mata tajamnya yang bisa ku lihat dari dekat. Jantungku berpacu cepat. Entah karena di tatap terlalu intens atau... entahlah. Perasaan ini terasa begitu familiar.

''Naya?''

Aku mengerjap kaget. Hanya ada kami berdua di dalam lift. Berarti yang tadi itu...

''Naya, kan?''

Aku menatapnya bingung. Sekilas, aku melihat kekecewaan di matanya. Sadar akan kebodohanku yang tak kunjung mengeluarkan suara, akhirnya aku mengangguk.

''Iya, saya Naya.''

Pria di depanku menatap dalam-dalam kepadaku. Membuatku gugup setengah mati.

''Kamu lupa sama aku?''

''eh... anu..''

TING

Pintu lift berdenting. Pria di depanku menjauhkan tubuh tingginya dari depanku. Dia tersenyum ramah sebelum keluar. Aku yang masih syok hanya bisa diam saja. Siapa sebenarnya pria itu?

''Nanti kita ketemu lagi, ya? Ruangan kamu dibagian mana?'' Pria itu menahan pintu agar tetap terbuka.

Aku tergagap. ''Itu.. saya di lantai tujuh. Bagian resepsionist.''

Keningnya berkerut tapi pada akhirnya ia mengangguk. ''Nanti saya kesana. Kita makan siang bersama. Sampai jumpa lagi, Naya.''

Sampai jumpa lagi, Naya. Aku pernah mendengar itu. Tetapi dulu aku sangat sedih ketika mendengarnya hingga nyaris gila. Tetapi mengapa ucapan pria tadi terasa sama? Padahal banyak yang mengucapkan sampai jumpa lagi, Naya padaku. Tetapi tidak sepersis ini. Tidak sama. Sudah lama sekali. Dan aku merasakannya lagi.

***

Jam tiga siang aku melangkah keluar dari gedung kantor. berakhir sudah masaku di tempat ini. Tidak ada yang tahu tentang keputusan pengunduran diriku. Aku tersenyum kecut. Siapa yang perduli, sih?

Aku dan DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang