Jujur, saya sangat senang karena semakin bertambah yang membaca cerita saya ini. Harapan saya cerita saya di baca dan membekas di benak para pembaca. oke, selamat membaca.....
***
Aku menyentuh tangan Danny yang sedang berdecak. Dia menatapku dengan kening yang berkerut dalam saat jariku mengusap telapak tangannya, membuatku tertawa melihat ekspresi kesalnya. Kami sedang berdiri di emperan toko, kehujanan. Setelah keluar dari Cafe, tak berapa lama hujan turun saat kami berjalan untuk mengambil mobilnya. Dhani berniat mengantarkan aku pulang tetapi akhirnya kami malah kehujanan.
''kenapa kamu ketawa? Kita sedang kehujanan dan...astaga! Kamu menggigil!'' Serunya panik.
Aku tersenyum mencoba menengangkannya. ''aku gak kenapa-kenapa, kok. Sekarang malah aku yang khawatir sama kamu. Muka kamu pucet gitu.''
Danny meringis dengan wajah bersalah. ''Saya takut kamu kenapa-kenapa, Nay. Memikirkan saya yang tidak berjumpa dengan kamu, membuat saya lupa untuk membawa mobil ketika mengejar kamu tadi.''
Pipiku memanas. Tidak menyangka bahwa seorang Danny bisa seromantis ini. Dadaku berdesir menyenangkan.
''Sudahlah Dhan, begini juga kan romantis.'' Balasku malu-malu.
Dhani tersenyum kecil mendengarnya. Dia mengangguk sebelum menggenggam erat tanganku, membuat tubuhku terasa lebih hangat.
''Saya selalu suka kejujuran kamu, Naya. Asal kamu tahu saja.''
Aku memukul pelan lengannya dengan tanganku yang tidak digenggamnya. ''Kamu baru kasih tau itu sekarang. Dulu kan kamu pemalu. Setiap yang aku lakuin, kamu coba tepis dan pura-pura gak tau.''
Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. ''Masa lalu tidak bisa kembali dan saya menyesali hal itu, Naya. saya harap suatu saat kamu mengerti.''
Dia mengucapkan kalimat terakhirnya menyerupai bisikan tetapi aku masih bisa mendengarnya. Apakah ia akan mencoba menjelaskan apa yang tidak ku mengerti saat ini?
Aku memandangnya dari samping sambil mengingat masa lalu. Mengapa Dhani yang sekarang masih seorang yang penuh dengan misteri? Aku seperti menjadi diriku yang dulu. Selalu dibuat penasaran olehnya.
***
Hari ini cuaca tidak menentu. Tadi pagi matahari bersinar cerah namun sekarang di sinilah aku, berdiri di halte sambil memegang sebuah payung. Aku mengangkat tangan kiriku yang tidak memegang payung, melihat jarum jam menunjuk di angka satu lewat dua puluh menit. Hujan di depanku masih sangat deras dan tidak ada seorang pun yang tersisa di halte ini kecuali diriku. Aku mengusap wajah basahku kemudian merogoh kantung baju seragamku dan mulai menghitung uang receh yang terkumpul dari hasilku mengojek payung tadi. Hasilnya lumayan, namun masih kurang. Butuh lebih banyak uang agar bisa mewujudkan keinginanku membeli buku yang harganya cukup mahal yang ku lihat kemarin di toko buku. Ibu bisa menceramahiku jika tahu aku lagi-lagi menggunakan uangnya untuk membeli sebuah novel percintaan. Jadi lebih baik mengojek saja. Hujan adalah rezeki. dan rezeki tidak boleh disia-siakan.
Aku melirik seragamku yang basah kuyup kemudian memeluk diriku sendiri berusaha mengusir dingin. Ingin rasanya pulang saja, tetapi mengingat banyaknya uang yang akan bertambah nantinya, kuurungkan keinginan itu. Bis selanjutnya tak kunjung datang, padahal sudah cukup lama aku berdiri menunggu. Kelelahan, akhirnya aku duduk di bangku halte. Dalam hati aku berdoa semoga ketika bis datang, hujan masih deras.
Tak lama kemudian, bis akhirnya tiba. Sudah ku tebak aku akan mendapat banyak uang. terlihat dari wajah orang-orang yang baru saja turun, mereka terlihat tidak siap menghadapi hujan yang bagiku adalah rejeki tiba-tiba. Dengan semangat, aku berdiri namun kemudian berhenti saat menyadari bukan aku saja yang memanfaatkan situasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Dirimu
RandomBerapa lama sebenarnya yang dibutuhkan sang waktu untuk mempersatukan dua hati yang terikat atas nama cinta? ini adalah tentang bagaimana sebuah rasa hadir namun tak punya tempat tuk berlabuh. bukan hanya dari satu sisi, melainkan dua sisi. Dua h...