Epilog

17.8K 869 45
                                    

Hallooo reasders....

ini epilog Fika dan Guntur, semoga ga mengeceakan yaaa >_<

Oiiaaaa, di samping ada foto Dias sama Diar waktu bayi lohhh :D

*peluk dan ciun dari indrii*

***

Epilog

Ku pandangin foto-foto dalam album kenangan di tanganku. Kehangat selalu mengalir merasuk ke dalam lubuk hatiku setiap melihat foto-foto itu.

Ku balik lembar demi lembar gambaran perjalanan hidupku saat SMA. Saat tiba di lembar terakhir gerak tanganku terhenti, ketika melihat sebuah foto berlatarkan sebuah SMA. Aku ingat, foto itu di ambil ketika aku lulus SMA. Dalam foto itu, aku, Guntur, Irama dan beberapa teman kami sedang perpose sambil memegang surat tanda lulus yang baru saja di bagikan oleh pihak sekolah. Macam-macam senyum menghiasi wajah kami, ada yang terrsenym karena lega, ada juga yang tersenyum karena gembira.

Ku tutup album itu, dan ku raih album lain yang ada di sampingku. Senyum kembali merekah di bibirku. Ku pandangi kumpulan foto itu satu persatu. Foto yang di ambil saat acara reuni SMA kami, mungkin lebih tepatnya foto yang di ambil ketika Guntur sedang melamarku. Di dalam foto itu, Guntur sedang setengah berlutut sambil memegang kotak cincin di tangannya, sementara aku berdiri dengan syok di hadapan Guntur. Juga ada foto-foto lain yang di ambil secara candid, seperti foto saat aku dan Guntur tengah berdansa, atau saat kami sedang tertawa bersama teman-teman lain. Mungkin kalian heran, dar mana aku mendapatkan foto-foto itu. Aku mendapatkan foto-foto itu dari Irma, katanya sebagai hadiah pertunanganku dengan Guntur.

Kembali ku tutup album reuni SMA itu. Lalu ku buka album lainnya. Tiba-tiba saja perasaan hangat kembali menyelimuti hatiku. Kali ini album yang ada di tanganku adalah album resepsi pernikahanku dan Guntur. Masih teringat dengan jelas acara resepsi pernikahan kami kala itu. Akhirnya setelah berpacaran selama 8 tahun, hari itu, ikatan kami sah baik di mata agama maupun hukum. Hari itu adalah hari yang takkan ku lupakan selama sisa hidupku.

Tiba-tiba aku teringat pada sebuah album yang juga mengabadikan salah satu kejadian terpenting dalam hidupku. Kucari-cari album yang kumaksud, setelah menemukannya aku membalik-balikkan album itu mencari sebuah kenangan yang terabadikan dalam album itu. Setelah agak lama mencari akhirnya aku menemukan foto itu. Dalam foto itu aku dan Guntur sedang berada d sebuah ruang pasien di salah satu rumah sakt terkemuka. Aku sedang duduk bersandar ke kepala tempat tidur, sementara Guntur dengan setia berdiri di sampingku. Masing-masing dari kami menggendong buntalan kecil, yang di dalamnya berisi buah hati kami Dias Arka Putra dan Diar Iskalia Putri.

Dias lahir 5 menit sebelum adiknya Diar.

Pada saat itu kami di kejutkan dengan keberadaan Diar. Dokter sama sekali tidak menyadari bahwa aku sedang mengandung bayi kembar.

Aku dan keluargaku juga sama sekali tidak mencurigai kehamilanku yang sangat besar kala itu. Saat itu kami semua menyangka, bahwa aku mengandung bayi, yang berat tubuhnya di atas bayi normal, karena dulu saat ibu mertuaku mengandung Guntur, besar kehamilannya juga di atas rata-rata normal. Jadi menganggap ukuran kehamilanku wajar-wajar saja.

Menurut dokter ukuran tubuh Dias yang lebih besar menutupi tubuh Diar, juga karena posisi Dias dan Diar yang saling bertumpuk sehingga kehadiran Diar tidak terdeteksi.

Samar-samar aku dapat mengingat seruan suster beberapa menit setelah Dias lahir “MASIIHHH ADAAA SATUU BAYIII LAGIIII!!!!” ruang bersalin yang tadinya di penuhi kelegaan kembali menegang mendengar seruan suster itu. Saat proses persalinan itu, aku baru menyadari bagaimana rasanya berada di ambang hidup dan mati.

Tanganku kebali membalik-balikkan halaman demi halaman album foto itu. Ada foto saat Dias dan Diar mulai belajar merangkak, foto ketika pertama kali berjalan. Ada juga foto hari pertama meraka masuk TK.

Aku ingat hari itu. Hari itu aku meminta ijin pada Irma untuk tidak datang ke kantor, sementara Guntur mengcancel beberapa meeting pentingnya. Kami berdua berencana mengantar si kembar di hari pertamanya. Saat dalam perjalanan menuju TK, Dias dengan coolnya duduk di bangku belakang, sama sekali tidak terusik oleh Diar yang bernyanyi-nyanyi riang di sampingnya.

Walaupun mereka berdua kembar, tapi sifat mereka sangat bertolak belakang. Dias berpembawaan cool dan dewasa seperti Guntur. Walaupun masih sangat kecil, Dias sudah menunjukkan sifat protektifnya pada Diar, dia selalu siap menenangkan Diar saat adiknya itu sedang menangis, tapi kadang kala, Dias bisa menjadi sangat menyebalkan ketika sedang menjahili adiknya. Aku sendiri sering di buat pusing oleh sifat jahilnya itu.

Sementara Diar, pembawaannya terkesan manja dan sangat rewel. Apa lagi bila ada keinginannya yang tidak di turuti. Mungkin karena terlahir sebagai anak bungsu dan kami juga sering memanjakannya. Di tambah dengan seorang kakak yang selalu siap melindunginya.

Setibanya kami di taman kanak-kanak, tiba-tiba saja Diar mengis saat akan masuk kelas. Dia berlari kearahku dan Guntur yang menunggu di luar. Tangan mungilnya menggenggam jariku dan Guntur dengan erat. Sepertinya dia takut dengan tempat baru yang sama sekali tidak di kenalnya. Aku dan Gutur bahkan beberapa Guru TK di buat kewalahan oleh tangisnya yang tidak mau berhenti. Hampir setengah jam, kami bersaha membujuk Diar agar behenti menangis, tapi percuma saja, tangisnya malah semakin menjadi-jadi.

Dias yang sedari tadi hanya memperhatikan saudarinya menangis, mulai mendekat ke arah kami. Tiba-tiba saja dia memeluk Diar dan membisikkan sesuatu di telinganya. Secara perlahan tangis Diar mulai mereda di gantikan oleh isakan-isakan kecil hingga akhirnya hilang. Kemuadian Dias menggandeng tangan Diar dan menuntunnya memasuki kelas mereka. Dan yang membuat kami heran, Diar sama sekali tidak menangis hingga jam pulang. Sampai sekarang aku sama sekali tidak tahu apa yang di ucapkan Dias pada Diar.

“Mamiiiiiii...” Seruan itu membuyarkan lamunku. Ku lihat Diar sudah berdiri di pintu kamarku. “ayooo miiiii, yang laiin udah pada ngumpul tuh, tinggal mami aja.”

“Iya-iya mami turun.” Aku mulai beranjak menghampirinya. Dengan manja kedua tangan Diar menggandeng tangan kananku. “Kamu tuh ya... udah besar tapi manjanya ga ilang-ilang” aku menjawil hidungnya.

“Bariiiiinnnnn, manjanya sama mami sendiri ini hehe...” aku hanya menggeleng-geleng mendengar jawabannya.

Kami berdua berjalan ke taman belakang. Di sana sudah ada Guntur dan Dias, mereka sedang asik mengobrol ketiika menyadari kehadiranku dan Diar. Di atas meja di samping mereka terdapat kue yang ukurannya lumayan bersar. Diatasnya terdapat lilin berbentuk angka 5 dan 0.

Dias yang pertama kali bangun dan menghampiriku. “Haloo mam, Happy Birthday mom...” Dias mencium kudua belah pipiku dan memelukku, kemudian dia melepaskan pelukkannya dan memperhatkanku dngan seksama “Hmmm... kalo orang liat mami sekarang, mereka pasti ga akan nyangka umur mami udah kepala lima, abis mami kaya masih 20 taunan sih.”

“Hus... kamu tuh ya, masa mami sndiri di gombalin” aku menjer telinga Dias dengan sayang kemudian aku memeluknya. Dias balas memelukku.

Dari balik punggung Dias tatapanku dan Guntur bertemu. Dia tersenyum kearahku, aku membalas senyumannya.

Dias melepaskan pelukkan diantara kami dan membimbingku berjalan ke arah Guntur. Guntur bangun dari duduknya, kemudian berjalan menghampiriku. Pelahan-lahan Guntur merengkuhku kedalam pelukkannya.

“Happy Birthday sayang.. i love you” kata Guntur di dekat kupingku.

“Maksih sayang... i love you too” akupun membalas pelukkannya.

Aku sungguh bersyukur dengan apa yang ku miliki sekarang. Suami yang mencintaiku dan kedua anakku yang sangat ku sayangi. Mereka adalah hartaku yang paling berharga.

***

‘Cinta itu... BUKAN dari mata turun ke hati’

Tapi....

‘Cinta itu... dari hati menyebar ke seluruh tubuh’

Belahan Jiwa - Sequel FikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang