Pundak Penyembuh Lara

13.3K 723 46
                                    

Shinta berada diambang beragam rasa. Diantara marah, sedih, kecewa, dan bahagia. 

Marah karena Baghas dikhianati oleh seseorang yang sangat amat Baghas agungkan. Sedih karena melihat Baghas meraung dan merintih karena wanita disakitinya. Kecewa karena orang yang dikira bisa membahagiakan Baghas, ternyata justru menjadi pedang paling menyakitkan untuknya. 

Dan bahagia,

Karena mata Baghas mulai terbuka, bahwa hanya Shinta-lah perempuan yang paling setia di sampingnya--setelah ibunya, tentunya--di saat  gadis lain mengecewakannya dengan sangat tega.

"Baghas? Apa setelah kejadian ini lo jadi benci sama Vinda?"

Saat ini Shinta masih berada di dalam mobil bersama Baghas. Posisi mereka sudah berada di parkiran apartemen Shinta. Tetapi mereka enggan turun dari mobil. Mereka nyaman dalam keheningan yang mereka ciptakan.

Tiba-tiba, Baghas menyandarkan kepalanya di bahu mungil Shinta. Dibiarkannya  Baghas menumpahkan segala kesedihannya. "Nggak akan pernah bisa gue benci sama Vinda.

Karena bagaimanapun, Vinda pernah jadi pelangi paling indah di hidup gue, meski sekarang dia bagai malam paling gelap dalam sejarah hidup gue."

Shinta menarik nafasnya. "Kalau gue, pelangi bukan?"

"Lo tuh kayak Dufan di hidup gue. Hiburan sih, soalnya!" Baghas tertawa.

Shinta mencubit lengan Baghas. "Sialan! Minggir ah lo, nggak usah nyender ke gue!"

Baghas masih tertawa. Kadang Shinta sebal, karena Baghas sangat susah diajak bicara serius.

Tapi melihat Baghas tertawa seperti ini, Shinta lega. Setidaknya, Baghas tak dinaungi rasa sedih luar biasa, seperti yang ia kira.

"Tapi serius, Shin. Gue nggak tau, gimana hidup gue kalau nggak ada lo," kata Baghas, setelah tawanya reda. "Lo selalu ada buat gue, lo selalu hibur gue, lo selalu buat gue merasa punya seseorang yang bisa diandalkan."

Shinta tersipu. "Duh, malu!"

"Biasa aja, Monyet!"

Untuk kesekian kalinya, Shinta mencubit lengan Baghas.

"Ampuuun! Habis lengan gue dicubitin terus!"

"Bodo amat, Monyet!"ucap Shinta. "Ngomong-ngomong, gue nggak habis pikir, Vinda tega lakuin itu semua."

Baghas mengusap pipi Shinta lembut, membuat Shinta mati-matiab menahan nafas. "Tapi berkat kejadian ini, paling nggak gue dijauhkan dari perempuan yang sia-siain gue.

Gue jadi tau, kalau perempuan yang beneran tulus sama gue, itu cuma Mama, dan lo." Baghas menatap Shinta, dengan penuh keseriusan dan kejujuran.

"Karena kita sahabat, jadi kita nggak boleh saling meninggalkan, ya?" balas Shinta.

Tak hanya kepalanya yang bersandar, kini tangan Baghas melingkar erat di pinggang Shinta. "Janji jangan pernah ninggalin gue, ya?"

"Emang pernah gue ninggalin lo? Lo, kali, yang sering ninggalin gue cuma gara-gara kencan sama Vinda!"

"Ya maaf, maaf.. Gue--"

Shinta tersenyum. "Bercanda. Gue paham kok. Mungkin kalau suatu saat gue punya orang lain di hidup gue, gue bakal mengesampingkan lo karena gue terlalu asyik dengan dia."

Baghas mendengus. "Lo nyindir gue yang terlalu asik sama Vinda?"

"Hahahaha padahal nggak loh. Lo yang sensi."

Shinta menggenggam erat tangan sahabatnya. Sungguh, Shinta merasa ini di luar batas persahabatan. Saling memeluk di kala dingin, saling menjaga di kala ada satu yang hampir goyah. 

Neighbour's Slave Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang