Tambah Satu Umurku

5.2K 167 13
                                    

Hi..All Readers.

Assalamu’alaikum…Selamat bertemu kembali. Ternyata saya sendiri yang tidak tahan untuk tidak menyapa kalian. Saya benar-benar merindukan kebersamaan kita, karena itu hari ini, saya putuskan untuk upload tulisan ini. Semoga membawa kemanfaatan.

Saya juga ternyata kangen sama Nai dan Anshar, sehingga saya memanggil mereka kembali untuk menemui readers. Cek juga “Jodoh dari Abah” ya..

Vote, kritik, koment, selalu ditunggu…

 

 Ini hari ulang tahunku yang ke 22. Beberapa hari yang lalu aku wisuda dan resmi boleh menyandang gelar sarjana sastra. Jurusan sastra Indonesia. Temanku pernah mentertawakanku ketika aku memutuskan mengambil jurusan ini 4 tahun yang lalu.

            “Kamu mau jadi sastrawan ambil jurusan itu. Kamu menyia-nyiakan potensimu!! Mestinya kamu ambil jurusan eksak. Kamu pasti sangat mampu di bidang itu.”

Waktu itu aku hanya tertawa saja. Dia tidak salah sepenuhnya kalau aku ingin menjadi sastrawan. Bukan, tidak setinggi itu. Aku cuma ingin  bisa menulis. Aku  membayangkan alangkah enaknya jadi penulis karena bisa mengerjakan tugasnya  tanpa harus terikat waktu. Aku juga berpikir bahwa dengan mengambil jurusan itu aku akan bisa meluangkan banyak waktu dalam keseharianku untuk membantu salah satu orang terpenting dalam hidupku. Beliau adalah orang yang  membolehkan aku untuk menikmati kasih sayangnya yang tulus. Selalu sabar menghadapi kami semua anak-anaknya. 

Di rumah, tidak ada yang keberatan ketika aku memutuskan mengambil jurusan itu kecuali seorang yang harus aku panggil abang.   Mama selalu mendukung apa yang menurut anak-anaknya baik begitu juga ayah. Mama mendukungku karena tahu aku memang menginginkan ini, sementara ayah lebih karena tidak mau terlalu dalam mencampuri urusanku. Aku toh merasa cukup dengan itu semua.

Saat itu orang yang selalu mama ingin aku memanggilnya kakak atau abang itu terlihat sinis dengan keputusanku. Hanya sinis tanpa alasan atau mungkin aku yang tidak pernah tahu alasan kesinisan itu. Bagiku tidak menjadi masalah. Aku sudah biasa menerima berbagai perlakuan sinisnya. Tambah satu perlakuan sinis lagi tidak akan membuat hatiku jadi hancur. Lama-lama aku kebal juga dengan semua sikap sinisnya. Hampir selama 10 tahun ini aku terbiasa menjadi sasaran kejengkelannya juga.

  Pernah terbersit dalam  pemikiran untuk melarikan diri saat  aku begitu sakit hati tapi kemudian aku kembali lagi memilih bertahan. Aku tahu mama membutuhkan aku atau tepatnya kami saling membutuhkan. Aku tahu kalau kepergianku pasti akan membuat mama kecewa. Mama merasa belum tuntas menjadi pengayomku. Itu alasan terbesarnya. Beliau  hanya rela melepasku jika aku sudah tuntas menyelesaikan sekolahku. Minimal sampai selesai jenjang S-1 alias menjadi sarjana.

Namun kini, ketika akhirnya aku selesai sekolah aku telanjur terlibat dalam salah satu proyek mama dan itu membuatku tidak bisa begitu saja pergi dari rumah. Bisa saja kalau aku mau tapi itu jelas akan membuat mama dirugikan tidak hanya secara materi. Sekali lagi aku memilih bertahan.

“Mbak..jadi berangkat ke kantornya mamah? Aku ikutan ya…ada yang harus aku bilang sama mamah..”suara Vika di depan pintu kamar. Ini satu lagi  hal indah yang membuat aku  masih memilih bertahan. Aku dan dia sama-sama saling membutuhkan. Vika dengan segala kemanjaan dan aku dengan segala keinginan untuk memanjakan.

Kulihat dia sudah rapi  dengan menyandang tas punggungnya. Wajahnya ceria seperti hari biasanya. Dia salah satu sekutu yang acapkali membelaku ketika harus ada konfrontasi antara aku dengan kakaknya.

“Yuk..!”ajakku sambil memegang erat lengannya menuju garasi di mana mobil bak terbuka yang biasa jadi mobil operasional kantor mama sudah dalam kondisi menyala. Pasti Pak Kardi  yang melakukannya. Selalu rapi seperti itu dan persis seperti kemauan mama.

RedefinisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang