Kuberanikan diri untuk melihat ke arah Haikal yang nampak serius meski tak bisa menyembunyikan semu merah di wajahnya.
“Maaf yah…itu..”suara Haikal nampak tercekat sambil melihat ke arahku. Kutantang tatapannya dengan berani. Kali ini aku yakin ayah berada di pihakku.
Haikal kembali berdehem. Sekali lagi kulihat wajahnya memerah.
“Selama ini..Haikal berusaha menutupi perasaan Haikal yang sesungguhnya pada Lian. Ehm..sengaja memperlakukan Lian seperti itu karena..karena mungkin justru..lebih aman untuk kami.”
Ha? Maksudnya?
“Ayah pasti tidak akan merasa aman kalau..ehm..”Haikal melirik sekilas ke arah Asya yang beranjak dari meja makan. Anak itu sepertinya tak sanggup menyaksikan ketegangan yang muncul di ruang makan. Asya bergerak cepat menuju kamarnya. Aku tahu perasaannya sangat lembut meski kadang tertutupi sifat manjanya.
“Ayah pasti tidak akan merasa nyaman kalau saja ayah tahu sejak SMP aku sudah sering membayangkan kalau istriku kelak adalah Lian.”lirih suara Haikal.
Apa?
Haikal kembali melihat ke arahku. Aku kembali menantang matanya. Pernyataannya benar-benar membuat aku merasakan jantungku merosot sampai ke perut. Tidak masuk akal.
Kurasakan tangan Vika kembali meremas jemariku yang mendadak keringetan. Mama bahkan melotot marah ke arah Haikal.
“Bukan...maksud Haikal bukan yang begitu. Bukan dalam artian..Lian jadi obyek fantasi seksual remajaku ma..”ucap Haikal sambil terkekeh geli. Ayah mendengus tampak tak suka. Haikal kembali serius.
“Ya..meskipun kadang-kadang muncul tapi apa sih yang terpikir di benakku sebagai anak SMP. Awalnya bahkan aku nggak sadar sama sekali kalau itu karena aku menginginkan Lian sebagai istriku…Aku hanya marah kalau Lian jadi pusat perhatian. Terutama teman-temanku yang tahu kalau Lian adikku. Tidak satu dua kali mereka menanyakan apakah boleh menjadikan Lian pacarnya. Itu menjadikan aku ingin sedikit mungkin Lian interaksi dengan mereka.”
Haikal nampak tersenyum kecil. Ya, aku ingat bagian itu. Aku ingat Haikal sering melarang aku keluar kalau teman-temannya datang tapi tentu saja aku tidak tahu kalau itu karena Haikal tidak mau ada yang punya perhatian lebih ke aku.
“Sementara mereka yang tidak tahu Lian adikku malah ada yang menyebut-nyebut Lian sebagai pacarku. Aku marah. Semakin sering marah. Marah karena kalau ayah dan mama tahu, bisa-bisa aku diungsikan jauh dari rumah. Mereka menyebut begitu karena mereka memang tidak tahu kalau Lian adikku, karena aku berkali-kali melarang Lian mengaku sebagai adikku- sementara mereka melihat bahwa aku cukup protektif pada Lian. “
Aku ingat itu dan setahuku itu karena Haikal malu punya adik sepertiku. Terlalu udik dan kuper karena memang aku berasal dari desa dan tidak banyak bergaul.
“Lalu semuanya jadi jelas ketika Nadia dan Dion mencoba memahamkanku dari sudut pandang mereka. Mereka berdua, orang yang sudah sangat dekat dan mengenali hampir sebagian besar keseharianku yang membantu menyadarkanku bahwa semua yang terjadi adalah karena aku menginginkan Lian untukku sendiri. Jadi, kalau ayah tanya aku punya apa sehingga berani melamarnya dari ayah, aku hanya bisa bilang bahwa aku, insyaallah, punya lebih banyak waktu dan kesempatan untuk memberinya hal terbaik, melengkapi apa yang selama ini ayah dan mama berikan untuknya.”urai Haikal diplomatis. Mama menghela nafas panjang sehingga terdengar dari kursiku.
Ayah diam dan mengarahkan pandangannya pada mama, lalu kepadaku yang langsung menunduk.
“Ayah tidak bisa menjawab sendiri lamaran kamu. Ayah perlu bicara sama mama dan Lian. Dan, setelah semua yang kamu ceritakan, ayah mau kamu tidak boleh pulang ke rumah sampai ayah panggil. Kamu boleh menginap di kantormu, kantor mama atau kost di tempat lain. Terserah, asal jangan pulang ke rumah.”kata ayah sambil berdiri dari kursi.