6 Tenggelam

2.8K 141 15
                                    

5 Juli 2013

All Readers…di chapter yang kemarin sempat muncul adegan kekerasan. Mohon jangan ditiru ya!

Chapter yang ini semoga lebih menghibur dan tetap bermanfaat.  

Haikal POV

Pipiku masih terasa panas ketika akhirnya aku pergi siang itu setelah memesan taksi. Aku sudah berpamitan pada semua orang pagi tadi dan aku jelas tidak bermaksud berpamitan pada orang yang sudah jelas-jelas tidak menghendaki pamitanku. Aku hanya sempat berpamitan pada mbok Harini. Aku harap Mbok Harini  sama sekali tidak tahu kejadian tadi pagi di kamarku. Aku tidak mau siapapun menjadi sedih karena peristiwa tadi.

            Aku heran kenapa Lian bisa semarah itu. Mungkin karena dia malu aku memergokinya saat berpelukan dengan Pandu. Siapa suruh berpelukan di tempat umum begitu. Aku bahkan kuatir Asya sempat melihat hal-hal yang sebenarnya tidak layak disaksikan anak seusianya.

            Hanya saja kenapa tadi dia bilang aku menuduhnya yang bukan-bukan ya? kalau alasannya malu ketahuan atau marah karena terganggu saat akan berbuat sesuatu kan bukan begitu kata-katanya mestinya? Atau jangan-jangan aku memang benar-benar telah berprasangka seperti yang dikatakanya tadi? Lalu, memangnya mereka sedang apa selain fakta bahwa mereka memang sedang berpelukan? Bukan, tepatnya Pandu yang memeluknya dari belakang.

Shhh. Aku mengusap wajahku frustasi. Aku kembali mengusap-usap pipi di sisi yang kena tamparan tangan Lian tadi. Selama sekian tahun bersama, belum pernah dia  semarah tadi. Padahal, selama ini tidak terhitung banyaknya kami saling menyerang dengan kata-kata tapi tetap saja tidak ada ekspresinya yang seheboh tadi. Aku juga baru sekali melihatnya menampar dan membanting pintu seperti tadi. Sebegitu keterlaluankah kata-kataku?  

Drrt..Drrt..getaran di HPku.

“Ya..assalamu’alaikum..”

“Hai..kumsalam. Sudah berangkat?, aku dan Dion sudah di Bandara ni..”

“Yupz..OTW”jawabku singkat. Nadia dan Dion adalah rekan yang sama-sama berangkat ke Jakarta sore ini. Keduanya kebetulan sama-sama teman sejak jaman kuliah dulu. Kami sudah sangat akrab untuk disebut rekan kerja biasa. Orang lain mungkin mengatakan kami bersahabat. Kebetulan kali ini akomodasi dari pusat memang memungkinkan kami pergi dengan pesawat sehingga kami tidak perlu pergi berombongan dengan mobil seperti biasanya.

Kami bisa bergaul dan menjadi diri sendiri saat bertiga. Ini jelas sangat berbeda dari suasana keseharian di kantor yang penuh sesak dengan berbagai data. Kadang-kadang kami menyebut pertemanan kami melebihi persaudaraan. Semua ini pernah agak sedikit berubah ketika ada yang menduga-duga bahwa di antara kami ada yang berpacaran. Dion dan Nadia, atau aku dan Nadia maksudnya. Syukurlah semua bisa kembali seperti semula ketika akhirnya kami menyadari bahwa perasaan yang lain selain persahabatan ternyata tidaklah sekuat itu.

Selalu ada saja keasyikan yang menjadi topik obrolan ketika kami sudah kumpul bertiga. Nadia sering mengolok-olok aku dan Dion lebih ember dari perempuan. Kami lebih sering cuek menanggapi olokannya, kenyataannya kami memang bisa ngobrol mengenai apapun dalam lingkup persahabatan kecil ini. Namun, dalam dua hari  ini aku merasa kurang antusias menanggapi berbagai obrolan itu. Berulang kali aku kehilangan konsentrasi. Termasuk ketika kami kembali bertemu malam  itu sehabis selesai sesi hari kedua  workshop.

“Tuh kan, kayaknya gue berasa ngobrol sama patung deh. Ya nggak Di?”ujar Nadia sambil mengibas-ngibaskan sebelah tangannya ke mukaku.  Dion mengangguk setuju dan melihat ke arahku dengan pandangan kuatir.

“Lu kenapa mas Bro?”tanyanya. Aku berusaha mengelak dengan menjawab sekedarnya tapi bukan mereka kalau sampai tidak bisa memaksaku menceritakan apa yang terjadi. Dan inilah, aku merasa benar-benar ember sedang menceritakan sesuatu yang selama ini tak pernah aku obrolkan dengan orang lain.

RedefinisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang