Ternyata

15.7K 971 93
                                    

Mengetahui Mba Nah yang ternyata mengambil cuti selama delapan hari rasanya aku tidak rela. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana delapan hariku ke depannya. Apalagi selama ini Mbo Nah selalu membantu menyediakan segala keperluanku. Kalau aku lagi lapar aku hanya berkunjung ke dapur dia akan mengerti dan segera menyiapkan untukku tapi sekarang aku harus minta tolong sama siapa. Sama Aileen rasanya itu tidak mungkin mengingat sikapnya selama ini.

Namun semua kekhawatiranku lambat laun berkurang, beberapa hari yang kulewati ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan.Sikapnya tiba-tiba jadi aneh. Dia yang selalu harus membentak bila bicara denganku tiba-tiba menjadi lemah lembut. Senyum yang sangat langkah aku lihat makin sering terukir di bibirnya. Alasan perubahahan sikapnya mungkin karena terlalu bahagia dengan kedatangan Om Roy. Kalau tidak memandang usia, aku rasa mereka memang pasangan yang serasi saling melengkapi. Bila Om Roy mengajak bergabung untuk sekedar mengobrol biasanya dengan halus aku akan menolaknya meskipun sudah lumayan lama tinggal di rumah ini entah mengapa masih ada kecanggungan bila melihat mereka saling memamerkan kemesraan di depanku melalukan kontak fisik sebagai perwujudan kasih sayang. Aileen yang selalu menyambut Om roy dengan senyuman, saling memegang tangan, berangkulan atau hanya bercengkrama di ruang keluarga.

Kekagumanku akan keharmonisan keluarga mereka luntur begitu saja saat harus menyaksikan pertengkaran mereka. Aku mengerti pertengkaran dalam rumah tangga mungkin sudah dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebagian orang bahkan beranggapan itu semua sebagai bumbu-bumbu pemanis dalam rumah tangga mereka yang dapat merekatkan hubungannya dengan pasangan.

"Prang..!!" aku segera menghentikan aktivitasku yang sedang berkutat dengan tugas kampus saat mendengar suara itu. Tanpa membereskan buku-buku yang berantakan aku segera berdiri berjalan mengendap-ngendap menuju pintu kamar. Pemikiran yang tidak-tidak mulai bersarang di kepalaku apalagi ku lihat jarum panjang jam yang tertempel didindingku sudah menunjukkan angka duabelas sementara jarum pendeknya menunjukkan angka satu. Dengan pelan ku buka pintu kamar berusaha tidak menimbulkan suara, aku khawatir bagaimana kalau seandainya itu maling apa yang harus aku lakukan. Namun apa yang kupikirkan ternyata sangat jauh dari kenyataan

"Perempuan tidak tahu diri!!!" aku hanya tertegun melihat Om Roy yang menghardik Aileen dengan kata-kata kasarnya. Ingin rasanya aku berlari membelanya namun kakiku seperti terikat dengan besi dengan berat yang berton-ton aku tidak dapat menggerakkannya meskipun otakku memerintahkan untuk bergerak. Air mataku berderai begitu saja tanpa menimbulkan suara pemandangan di depanku sungguh menyedihkan dan mengerikan. Aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau Om Roy akan setega itu. Aku sangat ingin membela Aileen tapi kuakui aku tidak bernyali mana mungkin aku bisa melawan Om Roy sementara aku tidak memiliki kemampuan bela diri sedikitpun selain itu aku juga tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka.

"Apa kamu masih ingin membangkang ha..??" kulihat Om Roy mencengkram dengan erat kedua lengan Aileen yang hanya membisu. Aku dapat melihat sinar penuh kebencian di pancaran kedua matanya. Sementara aku hanya bisa merutuki diri sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa bahkan untuk bersuara pun rasanya sangat sulit. tenggorokanku seperti tercekat aku sungguh ketakutan. Memang tidak kupungkiri aku pernah menyaksikan kedua orang tuaku bertengkar namun mereka tidak pernah separah ini paling hanya ibuku yang tidak ada hentinya mengomel sementara ayahku hanya diam mendengarkan semua luapan amarah ibuku.

"Plakk" aku tersentak ikut merasakan ngilu saat menyaksikan telapak tangan Om Roy yang mendarat begitu keras di pipi Aileen yang putih. Akibat tamparan tersebut meninggalkan bekas telapak jari yang begitu jelas dan lagi Aileen sama sekali tidak melakukan perlawanan bahkan di wajahnya dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Aileen kenapa hanya diam saja.." ucapku dalam hati, sungguh aku tidak kuat lagi melihat keadaannya yang cukup memperihatinkan tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Terlihat tetesan darah keluar dari ujung bibirnya yang terluka sementara di pelipisnya nampak lebam yang berwarna biru keunguan.

"Jangan pernah lagi bermain di belakangku" Om Roy mendekatkan bibirnya di dekat telinga Aileen seakan-akan dia sedang membisiknya namun ucapannya masih terdengar jelas sementara tangannya menjambak rambut Aileen ke belakang membuat Aileen meringis kesakitan . Apa mereka tidak sadar kalau masih ada penghuni lain selain mereka berdua. Setelah berucap demikian Om Roy segera meninggalkan Aileen yang menunduk terkulai lemah dan  menutup pintu dengan keras yang kemudian di susul dengan suara deru mobil yang menandakan kalau dia telah meninggalkan rumah. Entah apa sebenarnya yang terjadi di dalam rumah tangga mereka yang dari luar nampak sangat bahagia namun ternyata di dalamnya sungguh sangat miris.

Tanpa berpikr panjang aku segera berlari menuruni tangga, beban berton-ton yang tadinya mengikat kakiku entah menghilang kemana. Rasa takut dan segan mencokol dalam hatiku saat aku tinggal beberapa langkah lagi darinya. Dengan ragu ku langkahkan kakiku untuk mendekatinya sesekali aku harus menghindari pecahan beling yang berserakan dimana-mana berasal dari piring hias yang di lempar Om Roy

"Jangan mendekat!!!" bentaknya saat aku berada di dekatnya. Aku yang ingin berjongkok di hadapannya segera kuurungkan niatku. Entah kenapa dadaku tiba-tiba sesak terasa sangat perih menyaksikan dirinya seperti ini ada perasaan bersalah yang  amat sangat kurasakan merasa tidak berguna karena tidak bisa membantunya. Aku layaknya pecundang sejati yang tidak bisa melindungnya dari amukan Om Roy dan parahnya aku malah lebih mementingkan keamananku sendiri

"Ka.." ucapku sepelan mungkin dengan nada bergetar, aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menampilkan air mataku di depannya kukepal erat-erat tanganku agar emosi tidak menguasaiku

"Aku bilang jangan mendekat.!!" dengan suara tingginya dia menengadahkan kepalanya melihatku yang masih berdiri di depannya, aku menyalahkan diriku sendiri saat harus melihat setiap inci wajahnya yang telah terbalut dengan luka. Aku tidak tahan lagi melihat keadaannya tanpa mempedulikan lagi kemarahannya aku segera berjongkok di depannya mengamati ke dua lengannya yang juga memiliki luka lebam akibat genggaman Om Roy yang begitu keras.

"Pergi!!!" tanpa menghiraukan bentakannya aku segera merengkuhnya dalam pelukanku. Aku sama sekali tidak mempedulikan lagi dia marah atau tidak. Saat ini aku hanya ingin bersamanya apalagi Mbo Nah masih berada di Kkampung dan bila memungkinkan ingin rasanya aku ikut merasakan kesakitan yang di deritanya

"Enyah kau dari hadapanku!!" meskipun masih berteriak namun suaranya mulai terdengar melemah dibanding saat pertama kali dia membentakku. Dia mencoba meronta sekuat mungkin berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Namun aku tidak mau kalah, aku tetap memeluknya erat menahan segala pukulan yang bersarang di dadaku. Aku tidak mengapa menerima pukulan ini bila memang itu bisa membuatnya lebih tenang

"Aku tidak butuh bantuanmu!!" ceracaunya dalam pelukanku namun telah menghentikan pukulannya

"Huss..kakak tenang dulu..!!" aku mengelus bagian belakangnya berusaha menyalurkan ketenangan berharap dia bisa merasa aman dan nyaman

"Aku tidak butuh belas kasihanmu..!!" hardiknya kembali seperti mendapatkan tambahan energi dia mendorong  diriku yang telah melonggarkan pelukanku  dengan kuat berhasil melepaskan diri dari dekapanku

"Siapa yang mengasihani kakak ha..!!" aku meninggikan suaraku karena telah tersulut emosi melihat tingkahnya

"Kakak tidak mengerti apa kalau aku ikut sakit melihat kakak seperti ini!!" entah bagaimana bisa bibirku mengeluarkan kata-kata tersebut. Kulihat raut wajah terkejut bercampur dengan penuh tanya saat Aileen menatapku. Tidak sanggup membalas tatapannya aku segera mengalihkan tatapanku.

"Maafin Diva kak, Diva tidak bermaksud membentak kakak  Diva...Diva hanya khawatir sama kakak" aku kembali mendekatinya yang tengah menelungkupkan wajahnya di kedua lengannya yang bertumpu di lututnya. Melihat guncangan di bahunya aku segera memeluknya hingga terdengar sesenggukan yang berasal dari dirinya

"Kaka tenang ya..ada Diva disini" aku makin mempereratkan pelukanku mendengar tangisannya yang telah pecah. Aku membiarkannya menangis dalam pelukanku hingga beberapa saat. Setelah aku tidak mendengar suara tangisnya aku segera melepaskan pelukanku dengan hati-hati aku mengarahkan pandanganku pada wajahnya kemudian mengulurkan kedua tanganku menghapus bulir air mata yang menghiasi pipinya dengan ibu jariku mengusap lembut luka lebam di bagian pelipisnya melanjutkan ke  bekas telapak tangan Om Roy kemudian menelusuri bagian bibirnya yang luka dan entah keberanian darimana aku mencondongkan wajahku lebih mendekat pada wajahnya. Tanpa mempedulikan dia yang melihatku dengan penuh keheranan aku segera mengecup dengan lembut ujung bibirnya yang terlihat sobek menyisakan darah yang telah mengering.



Perempuan simpanan (GirlxGirl)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang