Part 2
Hujan deras menguyur seluruh tubuhku, membasahiku dalam sekejap. Tidak peduli bila langkahku tergelincir oleh batu atau ranting yang bakal menghalangi jalanku. Aku terus menatap kedepan sambil mempercepat gerak kakiku. Aku tidak peduli bagaimana petir itu menyambar dengan amukan, atau angin meniup kencang bagaikan topan. Aku tidak peduli semua itu. Waktu yang kumiliki hanya 15 menit.
Ya.... 15 menit melarikan diri jauh-jauh dari pondok Akashi itu.Kabut semakin pekat bertebaran disana-sini dan hampir menutupi jalan setapak. Aku berkali-kali mendecakan mataku yang kemasukan air hujan. Astaga, kenapa hujan ini kejam sekali padaku, tetesan demi tetesan terus menghujam wajahku secara bersamaan. Aku meringgis kesakitan.
Tangan dan kaki yang tidak dibaluti kain berapa kali harus menahan nyeri setiap bersentuhan dengan semak-semak berduri. Kaki yang terlanjang pun sudah menginjak berbagai hiasan alam yang telah melukai telapak kakiku.Kemana aku harus pergi, jalan mana yang harus kupilih nanti. Aku tidak mau melihat lagi kedua mata menyeramkan itu. Tidak! Tidak terimakasih.
Aku berani jamin setelah Akashi-kun kembali dia pasti akan mengamuk setelah mendapatkan aku kabur darinya. Fakta bahwa aku telah melanggar perintahnya-peduli amat. Aku tidak peduli dengan kebaikan Akashi yang menyelamatkanku saat pengeksekusian tadi. Tapi, aku sungguh menyesal karena aku belum sempat berterimakasih padanya sebelum aku pergi.
Aku meloloskan diri dari kamarnya, dengan sedikit perbekalan yang kubawa untuk berjaga-jaga, jadi bila ada ada orang yang menemukanku atau menyerangku, aku bisa gunakan pisau yang tadi kuambil dari kamar Akashi untuk melindungi diri. Kesannya memang agak egois, tapi dunia ini mengajariku bagaimana hidup dengan kekerasan.
Mataku terus mengawasi kebelakang memastikan Akashi-kun tidak berada dijangkauanku. Sangat kuwaspadai bila dia mencariku aku harus cepat bersembunyi.
Yahh....aku teringat kembali pada masa uji coba melarikan diriku yang ketiga kalinya. Aku mengingat bagaimana Akashi-kun menyekapku dengan cara yang sadis, dan aku khawatir hal itu terulang lagi. Aku memang sudah membuatnya kecewa dan tidak memperdulikan kata-kata dia, terlebih dia mengatakannya dengan sungguh aku menyesalinya. Namun, bukan berarti aku tetap patuh dari segala perintahnya. Disaat genting seperti itulah kesempatanku untuk membebaskan diri.
Sebentar lagi aku akan sampai di perbatasan. Aku sangat bersyukur kepada hujan yang membantuku menghalangi jangkauan para mata penjaga, sehingga dengan hujan deras seperti ini penglihatan mereka pasti kacau, apalagi tengah malam. Sosokku tidak akan mudah ditemukan. Bayanganku akan lenyap oleh kegelapan malam.
Sedikit lagi aku sampai di perbatasan. Sedikit lagi akan sampai. Begitu sesampainya keluar dari pintu itu, aku berhasil meloloskan diri tempat penjaraan ini. Sebentar lagi hutan akan terlihat.
Rasanya saat ini aku ingin sekali berteriak suka cita. Memeriahkan atas kemerdekaanku pertama kali dan aku merindukan udara kebebasan. Aku merindukannya.
Cahaya disekitar sini minim sekali. Aku berjalan mengikuti kemana arah cahaya bulan itu meneranginya. Tempat disini sangatlah gelap bila bulan tidak ada, terlebih lagi bila memasuki hutan, semuanya didominasi oleh pohon-pohon besar yang tinggi sampai menutupi cahaya langit. Bahkan saking minimnya penerangan aku berkali-kali menabrak pohon.
Astaga, aku sungguh payah.
Tanganku menepis dedaunan, ranting-ranting pohon yang menghalangi jalanku. Dalam hitungan detik kakiku sebentar akan sampai di perbatasan. Jantungku berdetak semakin cepat dari biasanya dan seauatu yang panas mengalir deras di punggungku. Mungkinkah ini kebahagiaanku yang sesungguhnya. Aku tersenyum kecil.
Begitu langkahku sampai di perbatasan dan aku mempercepat langkahku menyosor memasuki hutan.
Berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
EDEN
مصاص دماء[END] Berakhirnya sebuah eksperimen yang di ciptakan oleh Midorima membuat kehidupan manusia terselamatkan dari kekejaman tangan dokter/ilmuan itu. Mahluk penghisap darah, apakah vampire yang selama ini menyerang desa kecil Akashi? Jawabannya tidak...