Frame 3 : The third murder and suspicious note

1.2K 33 9
                                    

Semenjak kejadian dikantin sekolah itu, semua anak menjadi ketakutan pada Elliot. Aku sendiri juga, agak sedikit merinding jika mengawasi Elliot. Apalagi aku hanya seorang diri. Aku harus hati-hati. Bisa saja Elliot membunuh aku juga.

Aku masuk kekelas dan menjumpai Robert tengah menulis-nulis di notenya lagi. Aku terus memperhatikannya sampai dia sadar dan balas melihatku.

"A-ada apa ?" Tanya Robert sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Tidak ada." Jawabku singkat. Robert menunduk, dia kembali sibuk pada notenya.

"Um, sam..." panggil Robert.

"Ya?"

"kau sudah tau alibinya Elliot?" Tanya Robert. Aku tersenyum lalu mengangguk, dan kukatakan semua yang aku tahu pada Robert. rasa curiga pada Robert seketika hilang. Entah kenapa aku jadi kembali mempercayainya.

"Oh, entah kenapa aku jadi semakin yakin Elliot pembunuhnya." Kata Robert. Sama percis seperti aku!

"Dan sam, kau tau sesuatu lagi?" Tanya Robert

"Apa?"

"beberapa waktu lalu Elliot mengancam seorang gadis di kantin. Cerobohnya dia kelepasan bicara dan membiarkan semua orang tau..." aku manggut-manggut. Kalau itu sih aku sudah tahu.

"aku khawatir dia akan membunuh lagi sam. Bagaimanapun kita harus cepat mencari bukti kalau Elliot pelakunya." Ujar Robert antusias sekali. Ah dia ini. Aku juga ingin secepatnya memasukkan 'elliot si pembunuh' itu kedalam penjara. Tapi kami tidak punya bukti apapun. Meski analisis kami meyakinkan dan kami tahu apa motif Elliot.

Besoknya, Aku kembali dekat dengan Robert, seperti hari ini... ketika jam pulang sudah berakhir sejak 15 menit yang lalu. Kami berjalan beriringan, tapi tiba-tiba kami mendengar bunyi.

"Aaaaa~!!!!! DUAK!! PRANG!!" aku dan Robert terlonjak kaget. Kami berlari kearah suara. Sepertinya dari ruang seni dilantai dua. Kami menaiki anak tangga dan membuka pintunya. Tapi pintunya terkunci dari dalam!!

"Ini gawat sam! Kau panggil guru dan minta kunci serap ruangan ini." Kata Robert yang sedang berusaha mendobrak pintu. Aku masih diam ditempat dengan wajah pucat pasi sampai Robert kembali berteriak.

"SEKARANG!" dengan cepat aku menuruni anak tangga dan masuk keruang majelis mencari guru piket yang mungkin memegang kunci serap ruangan itu. Aku berteriak memanggil guru dan semua orang yang ada disana berbondong-bondong mengikutiku naik keruang seni.

Aku melihat pintunya telah terbuka. Tanpa pikir panjang aku masuk kedalam dan disana sudah ada Robert dan....

VIAN! Siswi yang dikantin waktu itu. Dia sudah terbujur kaku dengan kepala bersimbah darah. Aku bisa mendengar beberapa guru wanita dan siswi-siswi kelas 3 atau yang masih ada disekolah berteriak histeris menyaksikan mayat itu. Aku sendiri masih diam terpaku ditempat. Tidak tau apa yang harus aku lakukan.

"Hay! Ayo panggil ambulance! Cepat telpon!" perintah salah seorang guru laki-laki. Dia berusaha menjauhkan kami dari tkp.

"Tidak! Tidak perlu telpon ambulance. Telpon polisi saja." Kata Robert.

"Apa maksudmu nak?" Tanya guru laki-laki itu.

"Dia sudah meninggal. Tidak perlu telpon ambulance lagi. Cukup polisi saja."

"Kita tetap butuh ambulance! Hey yang lain! Bantu memindahkan jenazahnya."

"Jangan!! Jangan rusak TKP. Biarkan seperti ini sampai polisi datang!" Robert lagi-lagi membantah kata-kata guru itu.

"hey! Kau jangan sok mengatur!"

"Mayat ini masih baru! Kejadiannya baru saja terjadi. Jadi pasti pelakunya masih ada disekolah ini. "

Behind His GlassesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang