The Night

31 1 0
                                    

Martha's pov.

Langit sudah oranye, petang sudah disambut, Panca masih diam memandangi stir mobilnya. Keheningan yang aku sendiri takut untuk memecahnya. Angga pergi ke bengkel dengan kap mobilnya yang hancur, ia masih membelot dari kami.

Aku memandangi Panca yang menanggalkan kacamatanya. Ia melamun sudah lama, lebih dari 45 menit. Aku tahu semuanya berkecamuk di dalam Panca. Aku adalah teman yang buruk, tidak tahu caranya menenangkan seseorang. Dengan sedikit keberanian untuk mencoleknya, aku bertanya,
"Panca, sudah melamunnya? Sudah sore." Aku tersenyum.

"Ah, haha iya udah sore. Maaf, Martha, gue masih kepikiran Angga." Panca tersenyum segaris.

Aku tau, Nca, kamu tidak pernah melepaskan Angga. Dada ini rasanya sesak. Kenapa Tuhan menuliskan garis takdir seperti ini?

"Panca, tapi kamu tidak percata, kan, apa yang dikatakan Angga?" Aku menanyanya.

"Yang mana?" Ia membalas singkat sambil mengarahkan mobil keluar Universitas.

"Bahwa yang menyukai kamu itu aku. Kamu tidak percaya, kan?"

"Gue enggak tau mau percaya siapa."

"Maaf, Panca, aku mengacaukan semuanya. Semuanya jadi chaos. Maaf." Aku mendongak untuk menahan air mata yang ingin jatuh.

****
Panca's Pov.

"Maaf, Panca, aku mengacaukan semuanya. Semuanya jadi chaos. Maaf." sahut Martha lembut.

Situasi ini mustahil untuk mencari siapa penyebabnya.
Tidak bisa menyalahkan Tuhan dan cinta yang terbuat.

Gue masih memikirkan Angga. Kalimatnya masih terngiang di telinga.
Gue tau Angga hanya menjaga hati Martha. Gue tau Angga punya perasaan yang lebih dari Martha, gue pun begitu.
Gue suka, sayang, dan cinta dengan Angga.

Angga wanita yang manis. Ia wanita, bukan hanya perempuan. Tidak seperti Martha, Angga bisa menyelesaikan masalah dengan logikanya, tapi kali ini, logikanya adalah permasalahan.

Gue ingat saat SMP kelas 3, Angga mempunyai satu gebetan yang selalu ia idamkan. Dika. Dika adalah seorang cowok yang sangat maskulin menurut Angga, padahal biasa saja. Dika juga tidak seperti cowok-cowok populer di SMP waktu itu. Angga sangat mengidamkannya. Dan bodohnya, Dika sempat membuat gue ciut untuk mengembangkan rasa terhadap Angga.
Sampai suatu saat, Dika terbunuh asmanya sendiri, dan gue masih ingat raut wajah Angga. Tangisan Angga pertama kali yang gue lihat semenjak kita berteman. Ia sangat sedih dengan berita tersebut.

Berita itu yang membuat Angga saat SMA semakin tomboy dan tidak ingin jatuh cinta terlebih dulu.

Sekarang, tangisan hebat itu gue saksikan kembali. Tangisan Angga tadi sangat memukul gue. Sama, Angga menangisi kami yang sudah 'mati'. Yang ia kira tidak lagi bisa normal.

Dua hari lagi Angga akan pindah. Apa yang harus gue lakukan?.

****
Angga's Pov.

Aku masih terbayang raut wajah Martha dan Panca. Aku sangat mengecewakan. Mengapa aku berkata seperti itu?
Perkataan tadi bisa membuat salah paham di antara Panca dan Martha. Aku tidak bermaksud untuk memojokkan Martha, malah aku ingin menyampaikannya agar semua masalah ini selesai. Karena menurutku, seorang seperti Martha akan susah mencari orang lain, aku telah merelakan Panca dengan tiba-tiba.

"Aaaaaaaaaaaaaaaa!!!" Aku berteriak lalu terpaksa menahan napas takut menangis. Seketika pelanggan bengkel menaruh tatapnya padaku dan tidak aku pedulikan.

Dua hari lagi aku akan pindah ke Jerman. Kenapa, sih, bokap pindah mendadak dan pas banget waktunya?.

Deru mesin yang berlalu lalang di bengkel tidak lagi terdengar gaduh, kegaduhan tersebut tenggelam dengan lamunanku.

Black Backpack (On-Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang