Teganya Panca dan mobilnya. Aku terpaksa melepas jaketku dan terpaksa menerima pandangan, seakan-akan orang berpikir, "Siapa gerangan orang bodoh yang hanya basah sebelah ini?".
Aku tidak habis pikir. Bukan tentang Panca dan Leslie, tetapi tentang Martha. Aku tidak pernah melihatnya semarah itu. Aku tidak pernah menyaksikan mukanya semerah dan setegang itu.
Aku mencari kontaknya dan meminta maaf. Sudah 30 kali, tidak diread pula. Aku sebenarnya tahu harus kemana mencari Martha, tapi, aku hanya ingin berjalan sebentar.
Siang itu, aku menulusuri tepi jalan protokol. Entah rasanya kakiku tidak lelah kali ini. Aku terus berjalan melewati polusi-polusi kendaraan. Matahari sangat terik sampai bisa melepuhkan hati. Polusi suara sangat ramai bahkan dapat memecah gendang telinga. Deru mesin kendaraan berlomba. Aku hanya sendiri. Di kerumunan orang-orang sibuk bertangan teknologi. Lihat saja semua orang itu, temannya hanya kotak kecil yang ia bawa kemana-mana. Generasi menunduk.
Sampailah aku di depan toko makanan cepat saji. Aku memasukinya dan memesan beef burger plus orange float. Sama seperti Martha, aku suka tempat duduk di dekat jendela, karena aku rasa, kita tidak akan tertinggal peristiwa, di dalam bangunan atau pun di luar bangunan.
Aku mengunyah burger itu, sesekali melihat handphone , apakah Martha sudah membalas atau setidaknya membaca? Ternyata belum. Martha memang marah besar. Persetan dengan Leslie. Perempuan itu terlalu manja.
'Lagi pula untuk apa Panca diikutsertakan?' Aku bergumam.
'Panca, kan, cuma Panca. Orangnya ga pinter, kok, ah, pinter sih. Tapi untuk apa? Panca cuma anak orang kaya, orang yang berduit bisa masuk mana aja, gak perlu beasiswa. Masih ada Fredi yang bisa diajak, kan?. Mamanya cuma emak-emak sosialita, Papanya cuma pendiri perusahaan meuble terkenal, dan baru-baru ini mendirikan sekolah yang ngetrend ab.... is' aku terdiam dengan pikiran itu.
Sial kalau saja memang cerita ini dipakai papa Leslie untuk mendogkrak sekolahnya yang sebentar lagi akan menjadi sekolah 'keren'. Dengan kesempatan ini, Leslie melarutkan papanya, agar Leslie pun mendapatkan Panca. Martha harus tahu!
****
"Kita perlu ngomong, Angga," Martha menatapku.
"Iya, Mar, kita perlu ngomong," aku tersenyum melihat matanya.
Aku yakin Martha ingin membicarakan kasus Leslie ini dan sadar semuanya. Aku berharap seperti itu, namun ternyata Martha membelot harapan.
"Angga, aku pengen ngomong soal Panca," ia menunduk.
"Oh.. ngomong aja, Mar," aku tahu ia ingin berbicara apa. Yang aku takut, aku tidak siap menerimanya.
"Angga, aku sama Panca..." ia memutus.
"Apa? Kalian udah jadian?" Aku berpura-pura terkikik.
"Bukan, lah," ia tersenyum lagi.
"Lalu apa?"
"Angga, tapi aku tidak ingin melihat kamu sakit. Angga, aku cemburu." Ujarnya.
Deg! Benar apa yang aku pikirkan.
"Cemburu dengan siapa?"
"Aku cemburu dengan kamu. Aku..."
"Kamu cinta Panca, kan?"
"Iya, Angga. Tapi aku gak akan mempengaruhi persahabatan ini kok. Aku gak bakal jadian sama Panca, lagipula Panca suka kamu," matanya mulai berkaca-kaca.
Seperti dihunus panah panas. Aku tidak tahu harus apa. Apakah aku harus menyimpan rahasiaku tentang Panca terhadap Martha, atau aku akan bicara sama seperti Martha?
"Mar, gue sama Panca emang deket. Tapi gue gak suka, Mar." Aku mengalihkan pandangan pada jalan luar.
"Kamu bohong, Angga" ia memegang tanganku.
"Gue gak bohong," aku mencoba menatap matanya tajam.
"Angga, aku tahu kamu sangat sayang Panca"
"Enggak, Mar. Aku sayang Panca sebagai teman" nadaku agak ketus.
"Angga, aku gak akan sama Panca, kok, aku itu kayak Matahari dan bulan," ia tersenyum.
"Mar, sadar, kalian bagai bulan dan bintang, gue cuma langit, wadah kalian agar kalian satu. Gue gak apa-apa, Mar!" Kalimat itu tercetus sendiri.
"Kamu serius? Aku gak bisa lihat wajah kamu kayak gini," Martha mendongakkan kepalanya.
"Iya, Mar, kamu sama Panca gak apa, kok" aku rasa, aku harus menyembunyikan mata berkaca ini.
"Mar, gue ke toilet bentar" aku beranjak menjauhi Martha.
Air mata itu meleleh, dilelehkan oleh panah panas tadi. Aku melihat refleksiku di cermin. Mereka kira, aku adalah perempuan tangguh, pantang menangis, tapi kali ini, aku tidak bisa menahannya. Bagaimana caranya aku menghadapi ini? Bagaimana jika Martha akan bersatu dengan Panca? Apa yang terjadi dengan persahabatan ini? Aku akan jadi wadah bulan bintang itu? Menjadi langit gelap yang kosong melihat bulan dan bintang mesra memancarkan sinarnya. Aku rasa, aku butuh waktu.
****
"Mar, gue punya tantangan." Aku menatap Martha.
"Apa?" Ia menyiduk es krim vanillanya.
"Gimana kalo kita gak deket-deket dulu selama beberapa waktu?"
"Ha? Apa karena aku menyatakan hak tadi?" Ia terbelalak menaruh sendok.
"Tidak. Hanya saja gue pengen punya waktu sendiri. Apa kamu gak bosen tiap minggu sama aku dan Panca?"
"Lumayan, sih, ya oke boleh. Lalu Panca?"
"Panca tidak akan pernah menghampiri kalo kita tidak menghampiri duluan, kecuali, ia punya rasa." Aku menyeduh milo panas.
"Kita tidak pernah ngobrol atau bertemu?"
"Tidak pernah. Tapi, sekedar papasan, ya boleh."
"Oke, aku terima tantangan ini" ia serius.
"Deal?" Aku menyodorkan tangan.
"Deal!" Ia menjabatnya.
"Gue pulang, ya, malem gini taxi suka susah. Bye, Mar, udah gue bayar. Gue juga udah telponin Pak Joe, sopir lo buat jemput," aku beranjak dari sofa.
"Angga pulang sama aku a...." ia menarikku.
"Gak usah, Mar, tantangan itu mulai dari sekarang." Aku mengambil jaket dan berjalan keluar.
Aku tidak mau, Mar, karena aku tahu, jika aku bersama kamu sepanjang perjalanan pulang, aku akan mendengarkan cerita tentang pernyataanmu tadi. Tentang Panca yang akan menancapkan panah lagi di dalam dadaku. Aku tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Backpack (On-Hold)
Teen FictionCerita ini bukan hanya tentang si Ransel Hitam. Cerita ini tentang kami semua yang melakukan napak tilas di benang merah kehidupan semesta. Bagaimana sebuah ramalan sanggup mengubah jalan hidup 3 orang? Menimbulkan pemain-pemain baru dari negri anta...