"Aku pulaang!"
Sebuah seruan menggema ke penjuru ruangan, disusul dengan suara derit pintu yang di tutup pelan. Lelaki itu langsung mengangkat dua kantung belanja itu tinggi-tinggi, begitu kakinya melangkah masuk. "Papa bawa apa?"
Dua pasang mata milik Kean dan Kinan yang tadinya sedang anteng duduk di sofa langsung berbinar. Tubuh mungil keduanya langsung berusaha turun dengan seimbang dan berlomba untuk mendapat pelukan pertama dari laki-laki yang kini mulai berjongkok dan merentangkan tangan lebar-lebar—bersiap menerima pelukan.
"Kinan warna biru!! Yee!!" Anak perempuan berumur enam tahun itu lalu buru-buru membawa kabur paper bag yang telah ia incar untuk menaiki tangga.
"Awas! Ati-ati naiknya! Ntar jatoh!" Ali bersuara.
Dahinya langsung mengerut, melihat jagoan laki-lakinya cemberut. "Kenapa anak superman cemberut, gini?"
"Papa mikir dong! Masa anak cowok di kasih warna pink!" Kean memprotes, lalu mulai tidak tertarik dengan isi kantung tersebut sekalipun. Anak itu beralih, mengambil remot tv di meja dan mengganti channel yang ada.
Ali tersenyum. Ia mengendurkan dasi yang agak mencekik nafasnya seharian. Lalu duduk di samping Kean. "Kalau udah gede, kamu harus sering ngalah sama cewek, ya?"
"Nggak mau! Kean nggak mau kaya Papa, yang maunya ngalah terus sama Mama!"
Gemas, Ali mencubit bibir Kean lembut agar berhenti bersuara. "Ihh, anak kecil pinter ngomong!"
"Lagian, anak kecil di ladenin." Prilly menyahut, lalu sosoknya langsung keluar dari arah dapur sambil membawa nampan yang diatasnya terdapat dua cangkir Teh hangat.
Ini namanya cuci mata.. Ali bergumam dalam hati, lalu menggosok-gosok telapak tangannya penuh minat sebelum menyesap Teh yang aromanya sudah menggoda.
Prilly duduk di samping suaminya. Menarik paper bag dengan warna mencolok itu untuk mendekat dan menggeledah isinya. "Bawa apa, nih?"
"Buka aja." Ali menunjuk benda itu dengan dagunya, lalu mulai mengambil secangkir Teh dengan asap mengepul.
"Kean nggak mau tau isinya?" Prilly menoleh. Menurutnya, Kean adalah moodboster dalam ekspresi apapun. Tak heran, ia tetap tersenyum sekali pun anak lelakinya itu sekarang sedang dalam keadaan cemberut dan menatap layar televisi tanpa minat.
"Nggak. Liat warnanya aja udah geli," Kean bergidik. "Kean jadi curiga.. dulu Papa agak lembek, ya?"
Mendengar itu. Ali langsung terbatuk, menurunkan cangkir teh-nya dan melotot kaget. "Siapa yang bilang? Mama?"
Kean mengangkat bahu acuh. "Cuma nebak. Kalau marah, berarti iya."
Ali langsung menggeser duduknya gemas. Ia langsung mengelitiki pinggang anaknya bertubi-tubi, hingga Kean menjerit minta ampun. Satu kelebihan yang mulai ia tau; Kean adalah anak yang pintar berbicara dan dewasa, sekalipun ia lahir setengah jam setelah Kinan.
"Udah, Udah." Prilly tidak kuat lagi untuk menahan senyum. Perempuan itu mulai membuka isi yang ada dalam kantung. "Liat sesuatu itu dari isinya, jangan dari bungkusnya."
"Tapi, Ma.. Kalau luarnya nggak menarik, dalemnya juga pasti nggak menarik!"
"Cheese cake?"
"YES!!" Kean langsung tertarik. Dengan sumringah, anak itu langsung mendekati bungkus makanan yang sedang di pegang oleh Prilly.
Tapi, sebelum Kean mendapatkan kue favoritnya itu sepenuhnya, Ali langsung menarik kotak Cheese cake dari tangan Prilly dan menyembunyikannya di balik punggung. "Katanya nggak mau..?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Come Back
FanfictionAwalnya, semuanya bahagia. Pepatah bilang, semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin kencang anginnya. Ketika Ali dan Prilly mulai menginjak babak baru, mereka sepakat meninggalkan luka lama. Luka tersebut akhirnya sembuh, dan mereka berjanji tidak...