Duapuluh

115K 4.9K 231
                                    

And you as well must die, belovèd dust,
And all your beauty stand you in no stead;
This flawless, vital hand, this perfect head,
This body of flame and steel, before the gust
Of Death, or under his autumnal frost,
Shall be as any leaf, be no less dead
Than the first leaf that fell,this wonder fled,
Altered, estranged, disintegrated, lost.
Nor shall my love avail you in your hour.
In spite of all my love, you will arise
Upon that day and wander down the air
Obscurely as the unattended flower,
It mattering not how beautiful you were,
Or how belovèd above all else that dies.
And you as well must die- Edna St. Vincent Millay
*******

Api membakar tubuhnya, begitu menyakitkan bagai pedang yang merobek robek raga Dan jiwanya. Meraung, tubuhnya jatuh ketanah tak berdaya. Memorinya bersama camryn berputar diotaknya, bagai sebuah film tua yang semu dan menyedihkan. Bahkan di akhir kehidupannya Alden masih begitu memuja Camryn. Senyumannya yang begitu indah, tawanya yang begitu mengugah, kulitnya yang hangat Dan matanya yang senantiasa menatap Alden penuh cinta.

Mengapa dewi takdir bersikap begitu kejam?

Ia begitu lelah sendiri, Demi Tuhan. Dan saat dimana is mengira ia mendapatkan cintanya, semua itu hancur lebur begitu saja.

Tapi setidaknya ia akan bersatu dengan Camryn di alam baka.

Kemudian segalanya berubah buram, seakan ia melesat begitu cepat hingga tubuhnya terbanting ke ubin yang dingin dan rasa terbakar itu menghilang.

"Bajingan! Apa kau kehilangan otakmu?!"

Telinganya berdengung, tubuhnya begitu lemah dan ia tidak bisa berhenti terisak. Kekasuhnya telah mati, malaikatnya telah pergi. Ia tidak ingin melewati keabadian tanpa mendengar suara lembutnya, mencium bibirnya yang manis.

"Tidak, Camryn kembali padaku" Alden meraung, mencoba merangkak menghampiri jasad Camryn, tapi kemudian berteriak kesakitan saat kulitnya yang rusak terkena dinar Mata hari dan bergesek dengan kerikil.

"Camryn! Kembalikan kekasihku, aku mau ia disini" Alden memukul - mukul dadanya yang terasa begitu kosong, mengutuk setiap deru nafasnya, membenci dewi takdir Karena membiarkannya hidup tapi membunuh kehidupannya.

"Alden, kumohon jangan gegabah" suara Martin terdengar tegas, tapi juga bergetar penuh kesedihan. Semua pemandangan ini terlihat begitu pilu dimata Martin, kehilangan seorang kekasih selalu menjadi kematian bagi kaumnya. Ia meringis, mengutuk para dewa Karena takdir yang menimpa sang raja. Rajanya terlalu lama sendiri, rajanya sudah menanti begitu lama, dan sekarang para dewa ingin membiarkan Alden menghabiskan keabadiannya sendirian.

Oh terkutuklah Alam semesta karenanya.

Ia tak pernah melihat Sang Rajanya seperti ini, bahkan saat Victoria meninggalkannya ia hanya tertawa terbahak - bahak sebelum akhirnya mengurung diri selama seminggu penuh. Begitu banyak prekamen yang menceritakan Alden, dalam keberadaannya selama seribu tahun, begitu banyak cerita tentangnya. Peperangan, kegilaan, pembantaian, kasih sayang. Tapi yang satu ini adalah yang paling menyedihkan.

Kematian.

******

Disanalah ia terbaring. Biru di peti mati penuh pilu. Sebuah saksi atas cinta yang begitu indah dan menegangkan, sebuah lambang atas keindahan yang begitu menggetarkan.

Tamparan keras untuk menghargai cinta dan kehidupan.

Bagai lilin di kegelapan, ia begitu indah dan menerangkan.

Bagai api dalam dingin, ia begitu menghangatkan.

Kini takkan terdengar lagi, tawanya pada pagi hari dan tangisnya pada senja, tak terdengar lagi nyanyiannya yang begitu menggetarkan jiwa.

Mr. Fangs  #1 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang