Part 2

92 5 8
                                    

Kamu berdehem sejenak ketika melihat gadismu baru kembali dari kamar mandi, "Ehem, kamu terlihat lebih cantik." Mendangar ucapanmu, gadis itu langsung menyembunyikan pipinya yang seketika itu merona merah.

"Aku hanya menata rambutku agar tidak berantakan. Kamu ini, dasar!" decak gadis itu lalu duduk di bangku di depanmu. kamu menatapnya seolah mengucapkan kalimat manis seperti: kamu memang cantik, meskipun hanya rambutmu yang nampak lebih rapi. 

Gadis itu pun hanya bisa membalas tatapanmu dengan senyum tipis sembari menundukkan kepala.

"Aku yakin kalau kali ini tidak salah lihat, kan?" tanyamu pada dirimu sendiri. Kamu tidak hiraukan makanan di depanmu. Kini matamu manatap gadis di depanmu yang mencoba untuk tenang setelah kamu buat dia tersipu. Mengunyah makanannya sambil memandangi sepatu.

Kaget mendengar kalimatmu, gadis itu mendongak. Tatapan kalian bertemu, gadis itu sejenak membuang muka ke arah lain. Mungkin dia takut jika terlalu terpesona ke dalam kharisma yang kamu miliki. "Salah lihat? maksudnya?" Tanya gadis itu agak kebingungan, seraya menoleh kembali ke arahmu. Memberanikan diri untuk menatapmu.

"Aku tidak salah lihat kan, kalau di depanku kini duduk seorang bidadari cantik. Emm... bukan hanya cantik, tapi juga nampak berwibawa," katamu lagi.

"Haha," gadis itu terkekeh pelan. "Aku perempuan dan aku berwibawa? rayuanmu sangat tidak tepat sasaran."

"Oh, tidak. Tentu saja aku tetap sasaran." kamu menatapnya dengan sorot mata yang penuh arti. "Aku merasa beruntung memiliki gadis seanggun dirimu. Kamu seakan mampu buatku terus dan terus berkeinginan untuk melindungimu. Wibawamu membuatku merasa agak risih berada di dekatmu. Tapi karena hal itu, kamu berhasil membuatku jadi lelaki pantang menyerah, membuatku jadi lelaki tak kenal putus asa, kamu membuatku ingin sekali menyaingi posisimu. Berdiri sejajar untuk hadapi dunia ini bersama denganmu."

Tutur katamu yang lembut membuatnya seakan melayang ke langit. Terlihat dari cara gadis itu tersenyum ke arahmu. Nampak jelas sehingga membuatmu menyungging seulas senyum. Melihatnya hanya diam tak membalas kata-katamu, kamu pun segera mengeluarkan sebuah benda dalam kantung saku kemeja putih yang kamu kenakan. kemudian, perlahan menyodorkan benda tersebut kepada gadis itu.

"Hah?!" Mata gadis itu langsung membulat sesaat ketika melihat sebuah kotak berwarna merah di tanganmu. "Itu...." Suara gadis itu pun menjadi sedikit bergetar. kamu tetap tersenyum.

"Bolehkah aku berdiri sejajar denganmu?" Gadis itu langsung menutup mulutnya yang sedang terbuka saking terkejut. "Maukah kamu menghadapi hidup ini bersama denganku?"

Detik itu juga, gagak yang sedang bertengger tak jauh di depan restoran tempatmu duduk, mengoak-ngoak keras, sayapnya dihentakkan kasar lalu terbang mengelilingi bangunan restoran. Entah kamu tidak sadar atau pura-pura tidak mendengar. Suara koakan gagak itu tidak membuat senyummu luntur sedikitpun.

Gadis di depanmu masih belum sembuh dari keterkejutannya, masih dengan suara yang lirih, dan tangan yang membekap mulut. Dia bertanya untuk meyakinkan, "Ka... kamu lamar aku?"

"Iya. Jadi... bagaimana? Kamu mau menikah denganku?"

Gadis di depanmu segera menimbang keputusan. Kamu dengan sabar menunggu.

"Em...," bimbang gadis itu. Kamu masih sabar dengan terus tersenyum dan menatapnya dalam-dalam. "Aku...." sepertinya sedetik lagi kamu akan mendapat jawaban.

Sayangnya, sebuah suara memekak telinga membuatmu menoleh. kamu segera mencari di mana sumber suara tersebut. Bukan hanya kamu, tapi juga seluruh pengunjung di restoran itu menatap ke arah pintu masuk yang terbuat dari kaca. Yang pecah karena dihantam batu sebesar kepala orang dewasa.

Saat itu waktu seperti berjalan lambat. Matamu yang terpaku pada batu besar yang menembus pintu kaca dengan cara memecahkannya tersebut, melihat hal di luar kemungkinan. Kamu melihat sebuah batu berwarna hitam. Sekilat, di tangah-tengah hamburan pecahan kaca pintu, sebelum batu tersebut mendarat di ubin. Batu berwarna hitam itu berubah menjadi burung gagak dengan cara yang susah dijelaskan akal pikiran.

Waktu kembali bergulir normal, kamu pun berjengit dan mengumpat kasar. "Apa-apaan itu!!!"

Gagak itu lalu melaju dangan cepat ke arahmu. Kamu tergagap, mencoba melempari gagak itu dengan benda di sekelilingmu. Tidak peduli lagi dengan kotak merah yang kamu bawa. Kamu segera melemparnya juga.

Gagak itu langsung mencengkram kotak merah yang kamu lempar. Satu kaki bercakar tajam mencengkram kotak kuat-kuat. Masih terbang dengan kecepatan berburu. Gagak itu menyerangmu, mencakar pipi kirimu. Membuatmu kemudian tersungkur dengan darah segar mengalir dari luka yang kamu dapat. Dan kamu mungkin baru sadar bahwa ukuran burung itu lebih besar dari gagak sselayaknya. Burung itu bukanlah seekor gagak, melainkan seekor elang.

Kamu berdiri dengan hati-hati. Mulutmu meringis, sedang tanganmu memegangi pipi kirimu. darah terlihat berjalan dari sela-sela jarimu. Saat kamu was-was mencari keberadaan burung elang, kamu pun mendesah lega karena burung tersebut sudah menghilang, keluar melewati pintu kaca yang hancur tadi.

Matamu kemudian menatap tajam ke arah langit malam di balik lubang pecahan kaca. Dan mengumpat dengan keras. Mungkin kamu sangat heran? Atau kesal? Marah? Entahlah. Kamu mengumpat sangat keras.

"Bangsat!"

----------


Yeay. Yeay. Yeay. AKU GILA. 

INI CERITA ENTAH MAU DIBAWA KEMANA.

YANG PENTING MAH NULIS AJA YAK. WKWKWK.

SEE YOU GUYS.

Black Bird (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang