5

47 1 0
                                    

Dan kamu pun berbalik, berlari kembali ke arah mobilmu, sampai kamu bahkan tak ingat baru saja melewati pohon besar yang agak miring. Pohon itu bukan miring karena memang tumbuh seperti itu, pohon itu miring karena akan tumbang. Tanah yang menjadi tempatnya tumbuh tak lagi kuat menumpu besarnya pohon rindang itu. kamu tidak tahu soal itu, tidak tahu bahwa pohon besar itu jatuh ke arahmu yang sedang sibuk berlari.

Yang kamu dengar hanya suara nafasmu. Saat melewati pohon besar, suara gemerisik dedaunan menggantikan. Suara itu bukan suara dedaunan yang kau injak, suara itu suara pohon besar yang kini jatuh ke arahmu. Semakin jauh dirimu dari pohon itu, namun suaranya gemerisik memekak telinga itu malah kian dekat denganmu. Kamu akhirnya menoleh ke belakang, sedikit mendongak, dan... pohon itu sebentar lagi akan menimpamu!

Tak cukup waktu untukmu melompat supaya lolos dari maut, bahkan satu kali tarikan nafas pun tak sanggup kau hirup saat ini. Terpaksa kamu hanya menahan nafas di kerongkongan ketika pohon itu berada satu meter di depanmu. Tak ada kesempatan bagimu untuk berteriak, karena pohon itu kini sudah menimpamu.

Nahasnya, badan pohon besar itu hanya menimpa sebagian dari tubuhmu. Sebelah kanan. Ya, seluruh bagian tubuh kananmu serasa mati. Kamu sadar, kini kulit dan tulang belulang yang ada di sana telah remuk, mungkin hancur berantakan. Anehnya, Tuhan masih mengizinkanmu untuk bernafas.

Airmata keluar dari mata kirimu, cairan merah mendesak keluar juga dari hidung dan mulutmu. Suara teriakan akan kesakitan itu terjebak di tenggorokanmu. Kau sekarat dengan kondisi sangat mengenaskan ini. Menanti ajal datang menjemputmu.

Hanya isakan, kau tak mampu merengek dalam keadaan seperti ini. Rasa sakit yang menggerogoti tubuhmu lebih memaksamu untuk diam dan terus bernafas, memaksa serela-relanya dirimu untuk merasakannya. Merasakan rasa sakit itu!

>

Selama beberapa menit kamu terus menahan rasa sakit itu. Sampai akhirnya, terasa ada beban berat menggantung di kelopak matamu, membuatmu mengantuk. Perlahan matamu yang terasa pedih itu mulai tertutup. Dan kamu pun tertidur. Sangat pulas.

Dalam tidurmu, kamu memimpikan sesuatu hal yang sangat aneh. Dalam mimpimu itu, kamu melihat ada gadis berpakaian hitam sedang berdiri di depan lilin berapi biru. Gadis itu berdiri di tengah-tengah lingkaran—seperti lingkatan mantra atau semacamnya. Wajah gadis itu tertutup tudung jaketnya yang compang-camping. Sebagian anak rambutnya yang berwarna kuning kemerahan keluar dari tudung itu, tergerai kacau ke depan pundaknya. Dari balik tudungnya, kamu melihat gadis itu menggerakkan mulutnya.

"Demi Iblis Kematian, Black Bird, hamba datang kemari ingin meminta pertolongan darimu. Menjadikan diri hamba sebagai imbalan atas pertolonganmu kelak," ucap gadis itu. dalam mimpimu, kamu mengerutkan kening. Menerka-nerka mimpi apa sebenarnya ini?''

Sontak, api biru yang membakar sumbu lilin berubah warna. Kamu tertarik dengan peristiwa itu. Bukan hanya berubah warna jadi hitam, tapi juga berubah wujud jadi sesosok burung bertubuh api yang sangat besar. Koakan suara burung itu menimbukan getaran pada dinding ruangan yang di sinari cahaya remang sang rembulan. Tetesan-tetesan air dari dinding lembab goa ini mulai jatuh meninggalkan bercak titik di tubuh gadis itu. Air juga jatuh ke arahmu, namun tak membuatmu basah. Air itu tetap jatuh hingga ke tanah dengan menembus tubuhmu. Kau transparan.

Belum sempat kamu merealisasikan kekagetanmu, gadis itu menyela dengan perkataannya. "Hamba memang makhluk rendahan, Tuan. Tetapi hamba sangat membutuhkan bantuan dari Tuan. Kebencian dan dendam ini terus-menerus mengusik pikiran hamba, hamba akan berikan apapun yang Tuan minta sebagai imbalan, sekalipun itu adalah nyawa dan raga saya." Gadis itu mulai menangis. "Mohon tolonglah hamba, Tuan."

Black Bird (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang