Part 3

105 5 3
                                    


Banyak sekali yang mambuatmu kesal malam ini. Sehingga kamu sekarang menginjak pedal gas mobilmu dalam-dalam, membuatnya melaju kencang membelah angin malam. Salah satu hal yang membuatmu kesal adalah... saat di restoran, kamu melihat ada batu berubah menjadi burung elang, dan anehnya burung itu menyerangmu. Siapa yang sangka, bukan hanya menyerangmu. Elang itu juga telah mengambil cincin berharga milikmu.

Mobilmu melaju dengan kecepatan tinggi, menerobos bayang lampu di jalan lurus yang menghiasi. Dengan sangat tertekan matamu terus terpaku pada aspal jalanan ini. Kini semuanya mulai hancur berantakan, rencanamu. Apa yang tadinya kamu harap berjalan mulus sesuai rencana, akhirnya gagal total.

"Ghh!" kamu memukul klakson mobil, membunyikannya panjang klakson itu tak memedulikan gadis di sampingmu yang mungkin saja, akan berpikir bahwa kamu sudah gila, karena kamu membunyikan klakson meskipun tidak ada yang menghalangi laju mobilmu.

Hal yang membawamu ke dalam kepenatan dan kekesalan ini bukan hanya burung itu. Ada hal lain, salah satunya yaitu:

"Halo, ada apa? Sebentar lagi aku sampai, tunggu saja di sana," katamu waktu itu.

Saat mendengar ponselmu berdering kamu langsung mengangkatnya, kamu sudah tahu siapa yang menelponmu, jadi kamu tak perlu melihat siapa orang di ujung sana.

"Ah, itulah yang mau aku sampaikan. Kurasa... transaksi dibatalkan, Kawan."

Mendengar kalimat itu dari orang di seberang sana, kamu langsung membentaknya karena tidak suka, tidak rela. "Apa maksdumu!? Aku sudah siapkan semuanya. Kenapa mendadak begini?" matamu kini melototi jalanan.

"Maaf kawan, tapi polisi mendahului kita. Mereka sekarang ada di tempat transaksi, sedang menyamar dan siap menangkap kita jika kita tetap melakukannya. Mereka mengintai, menunggu, dan menyergap secara tiba-tiba. Kau tidak mau kan?" ujar orang itu padamu.

"Jangan bercanda! Polisi tidak mungkin ada di sana, tidak ada yang tahu tempat itu, apalagi soal bisnis yang kita jalankan ini. aku kesana sekarang juga!"

"Haha, sayangnya memang ada polisi di sana, dan dia baru saja menembak mati beberapa bawahanku. Kalau kau mau bukti, aku punya fotonya. Sebagian dari mereka masiih di sana sedang menyamar, mereka mengincar kita. Jangan gegabah, Kawan."

Kamu menghentak roda kemudi mobilmu. Lalu dengan menghela nafas panjang, kamu mencoba sabar, kemudian memberi penawaran, "Kita cari saja tempat lain untuk transaksi. Aku sudah bawa yang kau minta, kenapa kau membatalkannya begitu saja, aku tidak terima!"

Mendengar katamu, orang di ujung sana malah tertawa. Membuat dirimu semakin kacau, semakin membuatmu ditelan amarah. "Haha, maaf kawan. Jujur saja, perjanjian kerjasama ini kita batalkan saja. Kau sudah banyak mengundang polisi ke sini. Kehadiranmu membuat mereka semua ke sini. Kau lah penyebabnya. Di manapun transaksi dilakukan, polisi pasti dapat menciumnya, mereka pasti akan ke sana. Itu karena kau adalah buronan yang paling lama menjadi incaran mereka."

"Apa kau bilang!? Aku tidak mau tahu, uangku sudah terbuang banyak hanya untuk membawa barang itu kepadamu. Sekarang juga kita harus ketemu, melanjutkan transaksi kita!" Kamu semakin gila saja, membentaknya tiada henti.

Namun orang itu cuma tertawa, lagi. Sekarang sedang terbahak-bahak. "Maaf kawan. Tapi kami tidak mau berurusan dengan polisi, dan satu lagi... mohon maaf telah membatalkan perjanjian bisnis ini secara sepihak. Terima ka—"

"Jangan bercanda! Halo!? Halo!?" Potongmu cepat. 

Menyadari tidak ada suara yang membalas ucapanmu, kamu segera menjauhkan telepon itu dari telinga kirimu. Melihat tulisan 'panggilan diakhiri' dalam layar ponselmu, kamu sontak mendecak marah lalu membuang ponselmu ke kursi penumpang di belakang. "Arrgh, shit!"

Seperti itulah kejadiannya. Kejadian yang membuatmu terdiam seperti sekarang ini.

Kamu terus memacu mobilmu dengan kecepatan tinggi. "Sa-sayang... kamu...," sampai suara itu menyapa, kamu masih terpaku pada aspal jalanan.

"Bisakah kau diam," balasmu cepat, bahkan sebelum wanita di sebelahmu menyelesaikan kalimatnya.

Wanita itu nampak takut. Dia terdiam mengikuti pintamu. Hanya saja, wanita itu memang pemberani. Dia pun mengucapkan kalimatnya lagi, "Ka-kamu kenapa? Apa bisnismu bangkrut atau..."

"Kubilang diam!" Sentakmu kepadanya. Tanpa mau menoleh ke arahnya.

Bukannya diam, wanita di sebelahmu malah terkekeh. Ini aneh, aneh, aneh bagi akal sehatmu. Kamu sudah membentaknya tadi, tapi kenapa wanita itu malah terkekeh.

Kamu merasa direndahkan olehnya. "Kenapa malah tertawa? Apa yang lucu. Aku serius membentakmu. Jika kamu tidak berhenti tertawa, aku bisa menurunkanmu di sini."

Wanita itu mengatupkan bibir. Kau melihat ekspresi itu dari sudut matamu. Keinginan untuk berhenti dan menurunkannya berhenti dan menurunkan wanita itu di sini urun kau lakukan. Benar, kau tadi sangat serius dengan ucapanmu. Kau memang seperti itu: kasar, tidak mau peduli pada orang lain jika kau saja masih punya masalahmu sendiri, kau akan mengabaikan sekelilingmu begitu kau marah, kau orang yang sangat menyebalkan.

Keheningan kembali menghampiri, mengisi udara dingin dalam mobilmu dengan sempurna. Tapi kamu masih penasaran, apa alasan wanita itu terkekeh? Kenapa dia terlihat begitu ceria saat itu? Untuk apa dan karena apa? Kamu pun meliriknya. Kamu melihat senyum licik di bibirnya saat ini. sontak kamu menoleh ke arahnya.

"Kenapa kau senyum?" tanyamu kemudian.

Wanita itu masih tersenyum. Ia mengabaikanmu.

"Jawab!!!" Bentakmu sejurus setelahnya.

Saking kesalnya dirimu. Kini perhatian dan fokusmu hanya tertuju pada wanita di sebelahmu yang terus saja tersenyum. Senyum itu bahkan sangat mengerikan, ujung bibirnya terangkat naik hanya pada satu sudut. "Jangan lihat aku," kata wanita itu. kamu tidak mau mengikuti pintanya. Kamu terus menatapnya marah.

Seketika, dengan gerakan lembut, wanita itu menoleh ke arahmu. Menatap matamu tajam seraya mengucap satu kalimat, "Jangan menoleh ke arah lain saat sedang menyetir, Sayang." Sambil tersenyum.

Kamu tak peduli. "Katakan padaku, apa maksudmu tersenyum seperti itu?!"

Wanita itu mengangkat tangannya, menunjuk arah depan. "Lihat ke depan, kau akan jatuh ke sana jika tidak segera mengerem," ucapnya dingin. Dia masih tidak mau memberikan jawaban.

Kontan kamu menoleh kembali ke jalanan. Betapa terkejutnya kamu saat mendapati mobilmu melaju kencang menuju sebuah jurang yang tanpa dilindungi pembatas jalan. Kamu refleks menginjak pedal rem. Injakan itu menciptakan suara decit yang keras dari ban belakang. Mobilmu diombang-ambing ke kanan lalu ke kiri oleh gaya fisika itu. Sayang... rem itu tak bisa menyelamatkanmu.

Kamu yakin jalan yang kamu lewati adalah jalan lurus bebas hambatan. Bukan juga di daerah pegunungan. Lalu... kenapa tiba-tiba ada jurang di depanmu?


---------

Kasih komentarnya dong kakaaaa.

Hehehe.


Black Bird (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang