Part 4

32 2 0
                                    

Matamu terbuka, cahaya dari benda bulat di atas sana memasuki matamu selepas menembus retakan kaca pintu mobilmu. Lantas kamu mengerjap sebelum benar-benar siap melihat ke sekeliling. Dan kini, matamu mutlak terbuka. Keheranan, rasa syukur, dan ketakutan mulai menyergap erat-erat tubuhmu.

Kamu melihat jalanan di depanmu nampak aneh. Harusnya jalan itu terihat horisontal, namun nyatanya terlihat vertikal. Barulah kamu menyadari bahwa mobil ini terbalik ke sisi, di mana kamu sekarang ada di bawah.

Titik-titik air berwarna merah kamu rasakan menjatuhi pipimu, kamu sontak melirik ke atas, dan mendapati wanita di sebelahmu sudah terdiam. Darah segar mengalir dari kepalanya yang lemas, tertunduk, tertutupi oleh rambutnya yang panjang. Di balik helai-helai rambut itu, kamu melihat matanya terjuling ke atas dan tak bergerak sama sekali. Kamu berinisiatif untuk menyentuhnya, hanya untuk memastikan.

"Hei, hei," serumu sambil mengguncang bahunya.

Dia terdiam. Matanya juga masih diam. Lalu, susah payah kamu melepas sabuk pengaman yang mencengkram tubuhmu. Setelah terlepas, kamu berjongkok kemudian mendekatkan dirimu untuk mengecek denyut nadi wanita itu.

"...." Tidak ada denyut nadi di pergelangan tangannya. Darah itu sekarang menetes pelan. kamu melihat ke sekeliling dashboard, penuh dengan cairan berwarna merah. "Wanita ini mati kehabisan darah," bisikmu seketika pada dirimu sendiri. Sesaat setelahnya kamu mendecak marah.

"Sial!" memukuli kaca mobil di depanmu menggunakan apa saja yang kamu temukan di sana. Sampai benar-benar terpecah, kamu lalu keluar dari sana. Sempat terbatuk karena asap dari mesin mobilmu yang mengepul memasuki paksa lubang penciumanmu. "Uhuk, malam ini benar-benar sialan! Bagaimana bisa aku sesial ini?!"

Kamu berdiri sambil menendang udara di sekitarmu, saking marahnya. Lalu kamu mulai menengadahkan kepala ke atas. Entah berapa meter dia atas sana, ada jalanan yang dihalangi sebuah besi di sisinya. Dari sanalah kamu terjatuh. "Bangsat, bedebah hari ini!" Kamu memekik marah begitu mengetahui jarak ke atas sana—menuju jalan raya—terlalu tinggi. Pikiranmu mulai menggila lagi, mengingat hari ini semuanya sangat di luar dugaan.

Kamu mencoba mencari jalan untuk menaiki tebing atau jurang ini, biar sampai ke atas sana. Mulailah kamu berjalan tertatih-tatih—mencoba mengitari tebing.

Dan saat itulah, sakit baru menggerayangi kakimu, bukan-bukan, malah sekujur tubuh sekarang ada di bawah takanan rasa sakit. Kamu berhenti sejenak, mengecek apa memang ada luka di tubuhmu.

Duduk di bawah pohon tidak jauh dari mobilmu yang masih berasap, kondisinya remuk, beringsek tak berbentuk. Tanganmu lalu meloloskan diri dari kaus yang membalut tubuh atasmu. Melihat hanya ada bercak darah di sana, kamu mulai menyentuh perlahan sekujur tubuhmu. Tak ada rasa sakit di sana. Kamu menghela nafas lega, setengah bersyukur pada Tuhan, juga setengah menyumpah marah pada-Nya.

Setelah selesai mengecek bagian atas, kamu mulai manarik ujung celana hitammu untuk memeriksa kakimu. Barulah sadar, di sana ternyata sebuah luka membengkak. Ada bagian di dalam luka itu seperti teriris sesuatu, hingga darah dalam bagiannya keluar membasahi kakimu. Kaki kananmu. Sontak, matamu mengirim sinyal pandangan itu ke otak, rasa sakit sungguh-sungguh kau rasakan sekarang. Kamu menahan jeritan yang akan keluar dari mulutmu. "ERGH!" Eraman itu mengonfirmasi bagaimana rasanya luka tersebut.

Setelah melihat luka itu, niat berjalan dan menemukan cara naik ke atas pun, kau urungkan. Bahkan sekarang pikiranmu mungkin berkata, kau tak akan mampu berjalan jauh dengan kondisimu yang seperti ini.

"Argh, sial! Sial! Kenapa ini semua terjadi padaku? Batu yang jadi elang dan mengambil cincin berhargaku? Polisi dan pembatalan bisnis? Lalu berubahnya sikap wanita murahan itu padaku? Dan sekarang, jurang tiba-tiba ada di depan, juga luka ini kudapatkan sebagai akibat jatuhnya? Sial!"

Gerutuan itu terus saja mengambil alih mulutmu, pergerakannya selalu hanya untuk mengumpat marah pada Tuhan di atas sana. Saat ini, resmi tidak ada satu persen pun syukur yang kau panjatkan pada-Nya.

Matamu terlalu terfokus pada luka di kakimu itu, sampai saat suara mobilmu yang terbalik miring itu terdengar seperti bergerak, barulah fokusmu beralih ke sana.

Tunggu. Bergerak? Bersuara? Suara apa itu? Apa ada hewan buas yang datang mendekat ke mobilmu? Atau hantu? "Hahaha, jangan bercanda di saat seperti ini, Kawan." Kamu mengibas tangan, bermaksud mengusir pikiran konyolmu itu. Namun tidak bisa dipungkiri, kini jantungmu berdetak dua kali lebih cepat hanya karena suara tadi.

Rasa penasaran yang tinggi membuat kedua bola matamu tidak kunjung beralih pandang ke arah lain selain ke arah mobilmu. Terkaan-terkaan dalam otakmu melintas silih berganti. Tapi tak ada satu pun yang mampu kau simpulkan secara logis mengenai suara apa yang kau dengar tadi. Matamu makin tajam memerhatikan mobilmu. Hingga....

Di depan matamu, kamu bersumpah demi apapun, kamu memang melihatnya, dengan mata kepalamu sendiri; mobilmu baru saja bergerak!

Kontan kamu melototkan mata, lalu berdiri dengan gerakan tergesa-gesa. Kamu tidak lari, hanya mematung di sana untuk beberapa saat.

"Hewan buas? Hantu?"

Kamu mulai melangkah mundur, injakan kakimu menyentuh dedaunan kering di bawahnya dan menimbulkan suara berisik yang palan. Nafasmu saat itu langsung memburu, jantungmu rasanya nyaris meloncat keluar dari tempatnya. Di saat yang bersamaan dengan suara gemerisik daun itu, mobilmu bergerak lagi.

"Sial. Apapun itu, aku harus lari!"

Kamu membalikkan badan untuk segera berlari menuju ke dalam hutan. Rasa sakit di kaki kananmu bukan lagi penghambat, kamu tidak peduli sesakit apa rasanya ketika menghentak ke tanah. Bahkan ketika suara 'gubrak' keras terdengar, kamu hanya meliriknya sebentar seraya kakimu terus mengayuh menjauh. Dari sudut matamu, kamu mendapati bahwa mobilmu jatuh kembali ke posisi selayaknya mobil berdiri. "Sial, sebenarnya makhluk apa yang di sana? Kenapa dia bisa membalikkan mobil seberat itu?"

Namun bukan hanya menyadari mobilmu yang tiba-tiba berdiri tegak kembali, tapi kamu juga melihat sesosok kepala dengan dua mata menyala merah mengintip dari balik mobil.

Kamu terus berlari masuk ke dalam hutan, ingin sekali bersembunyi. Meloloskan diri dari apapun itu yang ada di dekat mobil. Dengan langkah sedikit pincang, kamu belum masuk terlalu dalam di hutan ini. Seketika, sekelebat bayangan melintas kencang di depanmu. Seperti kilat menyambar, gerakan bayangan hitam itu sangat cepat. Kamu berhenti dan mematung lagi.

"...," umpatmu dalam diam. Kamu kini berpikir kalau yang barusan adalah hewan buas yang membalikkan mobilmu.





Black Bird (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang