Prolog

541 37 9
                                    

1990.

Teng... Teng... Teng...

Terdengar suara lonceng begitu nyaring hingga terdengar ke setiap penjuru sekolah. Cuaca hari ini cukup cerah untuk musim hujan. Angin berhembus dengan lembut menerpa wajahku diiringi dengan lantunan-lantunan burung kecil yang hinggap di pohon-pohon besar. Kulangkahkan kakiku menuju suatu ruangan besar yang telah ramai dipenuhi murid-murid seangkatan denganku. Mereka mengenakan seragam dengan rapi dan tampak saling berkenalan. Sebagian lainnya kupikir sudah mengenal satu sama lain. Aku tahu itu dari apa yang mereka bicarakan. Aku memilih tempat duduk yang paling belakang agar semuanya terlihat olehku. Nampaknya upacara pembukaannya belum mulai.

"Mmmmm.... maaf, apa kursi di sebelahmu kosong?"seseorang orang berbicara padaku. Aku mengalihkan pandanganku ke arahnya.

"Apa kursi di sebelahmu kosong?"ulangnya lagi.

Astaga! Siapa dia? Parasnya begitu menarik. Gayanya sangat modis, terlihat dari rambutnya yang ditata sedemikian rupa.

"Halo?"tanyanya mengibas-ngibaskan tangannya di depan mukaku yang tengah memperhatikannya.

"O.. oh... i.. iya. Tidak ada siapa-siapa di kursi itu"jawabku cepat.

"Oh, baiklah"orang itu duduk tepat di samping kiriku. "Mir. Siapa namamu?"

Orang itu menjulurkan tangannya padaku, "Jinwoo. Namaku Jinwoo"

"Kau ada di kelas mana?"tanyanya lagi.

"Mmmm.... 1-3 kalau tidak salah"

"Wow! Kalau begitu kita satu kelas! Setidaknya sekarang aku mengenal salah satu teman sekelasku. Senang bertemu denganmu"ujarnya sambil tersenyum. Senyumannya itu sangat menawan. "Ah, kamarmu nomor berapa?"

"203. Kau sendiri?"aku balik bertanya.

"Yaaahh.... jaraknya jauh sekali. Aku berada di kamar nomor 20. Bedanya empat lantai"

Untuk beberapa saat kami terlibat percakapan yang cukup menarik. Orang ini menyenangkan. Ia juga memiliki selera humor yang tinggi. Aku menyukainya. Aku sangat beruntung bisa berkenalan dengannya. Apa lagi kita satu kelas. Sejak tadi ia terus berbicara dan menceritakan pengalaman-pengalamannya di SMP. Sedangkan aku hanya mendengarkan sambil sesekali tertawa karena ceritanya. Ia juga bercerita tentang kekasihnya yang cantik dan sangat sempurna yang juga bersekolah di sini. Entah mengapa aku tidak suka saat ia menceritakannya.

Satu tahun berlalu. Kami menjadi teman dekat. Sifatnya yang menyenangkan sama sekali tidak berubah. Hanya saja, saat ini ia lebih sering menghabiskan waktu bersama kekasihnya. Perasaanku sungguh tidak enak. Aku membenci gadis itu.

Suatu hari, aku menyatakan perasaanku pada Mir. Namun ia menganggapku bercanda.

"Hahahaha.... jangan bercanda, kawan. Kau terlalu berlebihan"

"Aku sungguh-sungguh. Kumohon, tinggalkan gadis itu"pintaku.

Sekejap ia menatapku, "Kau keterlaluan. Kita ini laki-laki"

"Aku tahu, tapi......"

"Kau aneh, kau bukan Jinwoo yang ku kenal"ia berbalik dan pergi meninggalkanku sendirian di koridor sekolah.

Baiklah, sekarang dia pergi. Dia membenciku, itu pasti. Dia juga tentunya merasa jijik padaku.

"Tunggu! Aku hanya bercanda. Hahahhaaaa... kau masuk dalam tipuanku"

Mir berbalik, "Kau......"

Aku menelan ludah kasar.

"Dasar sial!!!!"ia segera menghampiriku dan menjitak-jitak kepalaku.

Bagus. Ia percaya padaku. Tentu saja aku tidak bercanda. Lihat apa yang akan kulakukan padamu.

"Hey, bagaimana kalau malam ini kita bermain uji nyali. Kau boleh mengajak pacarmu"

"Uji nyali?"tanyanya.

"Ya. Kalau kau berani, datang ke depan laboratorium biologi jam 9 malam. Bagaimana?"tawarku.

"Hmmmm.... kau menantangku? Tentu saja aku tidak akan kalah. Baiklah, jam 9, di depan lab biologi"

"Satu lagi, kau tidak boleh mengajak siapapun selain pacarmu. Itu peraturannya"

"Ku terima. Baiklah, sampai jam 9 nanti"

"Ya, sampai nanti"aku menyeringai dan menatapnya tajam setelah ia pergi memunggungiku.

Nampaknya jam 9 nanti akan sangat menyenangkan.

***

Dong... dong... dong...

Jam besar yang berada di ruang guru berbunyi sembilan kali. Pertanda waktu menunjukan pukul 9 malam. Bahkan suaranya terdengar sampai lab. Kau tahu apa yang sedang kulakukan? Uji nyali hanyalah sebuah alibi. Untuk apa aku benar-benar melakukan hal seperti itu. Tidak ada gunanya.

Saat ini aku sedang melakukan hal yang lebih menarik. Pernahkah terpikirkan oleh kalian jika menguliti seseorang itu begitu menyenangkan? Lihat, kulitnya yang putih kini berwarna merah. Aku suka saat darahnya mengalir deras. Pertama, aku menguliti tangan kirinya. Ups, aku harus berhati-hati menguliti dagingnya. Jangan sampai otot-otonya juga terkelupas. Aku suka otonya yang berwarna merah kecoklatan.

Apa ia sudah mati? Tentu saja belum. Aku bahkan tidak membiusnya saat melakukan ini. aku mengikatnya di atas meja lab. Mulutnya ku jahit saat ia pingsan setelah kupukul. Hanya terdengar erangan-erangan dari mulutnya. Ia tidak akan bisa melawan. Aku mengikatnya dengan rotan. Aku juga sudah memaku jari-jari tangan dan kakinya.

Wow! Lihat wajahnya yang memerah saat aku menguliti daging tangan kirinya. Bahkan ia menagis. Haruskah kulanjutkan? Aku tidak sudi melihatnya menangis. Tapi aku lebih tidak sudi lagi kalau membiarkannya hidup. Dapat kulihat napasnya yang tidak teratur. Dadanya naik turun dengan sangat cepat, aku yakin ia kesakitan. Hahahhaa... apa peduliku?

Oh, bagaimana kalau begini? Ku tusuk matanya, agar ia tidak bisa melihat tubuhnya sendiri. Yup!

Cleb!!!!

"Arrrgggghhhh!!!!!"

Hahahha... dengar suaranya!

"Kau sudah mau mati? Masih belum?"tanyaku padanya dan aku yakin ia tidak akan pernah mau menjawabnya.

***

Payah, ia mati terlalu cepat. Yah, tapi tidak masalah. Jadinya aku lebih cepat juga untuk menghabisi gadis sialan ini. lihat, matanya yang indah ini sangat cocok dengan Mir. Baiklah, akan ku ambil. Tunggu. Lalu harus kuapakan tubuhnya? Ah, bagaimana jika aku ambil organnya? Aku bisa mendapatkan banyak uang.

Oh! Kebetulan! Sekolah membutuhkan skeleton atau kerangka manusia. Hmmm...... bagus juga.

"Hey, gadis. Selamat tinggal....."


[4th Book Here] Anatomi Doll at 11 p.m. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang