part 3

160 7 0
                                    

Aku datang lagi, tentunya bawa part 3 dari RMA. Makasih buat readers yang bersedia membaca karyaku yang mungkin abal" ini. :D
Buat readers semua yang mungkin bingung sama cerita ini, kenapa awal cerita langsung konflik? Trus kenapa kehidupan pribadi Angel gak dijelasin(umur,pekerjaan,dll)? emang ini kubuat beda dari yang lain. Untuk kehidupan pribadi Angel akan diceritain lewat alur cerita, jadi gak dijelasin secara spesifik.

Dan diceritaku ini semua part pake sudut pandangnya Angel... kecuali jika ada keterangan lain di jululnya.

Maklum jika ada typo ya? Ok, happy reading all

***

"A... ap.. apa yang kau... lakukan? Menjauhlah!" Aku berusaha mendorong pria di depanku, tapi dia malah semakin erat memeluk pinggangku.

Haduh... apa yang akan dia lakukan? Jangan-jangan dia akan menciumku? Memaksaku melayani nafsunya? Oh, tidak. Jangan sampai dia melakukan itu. Bahkan di umurku yang ke 25 aku belum pernah kencan, apalagi berciuman. Tidak! Tidak! Tidak!

"Kenapa kau geleng-geleng kepala? Kau pusing? Atau kau berpikiran kotor tentangku? Kau sungguh tak sopan, Angel"

Oh tidak, aku merasa wajahku memanas. Ku palingkan wajahku agar dia tak melihat rona diwajahku.

Deg deg deg

Ku rasakan nafasnya yang panas berhembus di leherku. Ku pejamkan mataku erat, takut pada apa yang mungkin akan terjadi.

"Aku hanya mengingatkanmu, Angel. KAU MILIKKU" aku merasakan nafasnya yang semakin dekat ke leherku.

Mataku terbuka lebar saat aku merasakan kecupan di leherku, di bawah telingaku. Belum selesai keterkejutanku, aku merawa bibir itu menghisap leherku.

Ugh

Tanpa sadar aku melenguh. Tubuhku terasa bergetar, bahkan kakiku melemas. Jika bukan karena pelukannya di pinggangku, aku mungkin akan merosot ke lantai.

"Tanda ini akan membuatmu selalu mengingat ucapanku tadi. Dan sekarang kau pakai handphone yang ada di nakas. Jangan menghubungi pria lain, aku akan tau jika kau melakukannya. Termasuk ayahmu"

Ku kerjap-kerjapkan mataku, mencoba fokus pada yang pria ini ucapkan. Belum sempat aku mencerna ucapannya, dia sudah menghilang di balik pintu kamarku.

Tanda? Handphone? Pria lain?

Tunggu sebentar, tanda? TANDA?

Begitu menyadari apa maksud kata itu, aku langsung berlari menghampiri meja rias. Dan disanalah aku melihatnya, tanda yang diberikan Fernand padaku. Di bawah telinga kananku, sebuah tanda kemerahan, mendekati ungu, terpampang jelas di sana.

Kau sekarang seperti jalang, Angel. Membiarkan pria itu berbuat seperti ini padamu.

***

Aku baru keluar kamar saat pelayan memintaku untuk makan malam, dan memastikan tidak ada Fernand di sana, dengan bertanya pada pelayan.

Aku masih belum siap bertemu pria itu. Bahkan handphone pemberiannya sama sekali belum ku sentuh. Mungkin jika Fernand sudah pulang dari Bandung, aku akan memilih makan di kamar.

Selesai makan, aku meminta Riana mengantarku ke lantai tiga, ke sebuah ruangan yang berisi beberapa alat musik klasik.

Saat ku bertanya pada Riana tadi pagi, mengenai ruangan ini, dia mengatakan bahwa Fernand mengoleksinya alat-alat musik ini. Tapi tak semua bisa dimainkannya. Aku masih bertanya-tanya kenapa mengoleksinya jika tak bisa dia  memainkannya. Tapi rasa penasaranku lenyap saat mengingat kejadian tadi siang di kamarku.

Ku dekati sebuah grandpiano berwarna putih yang ada di tengah-tengah ruangan, membelainya ringan dengan tanganku.

Akhirnya kuputuskan untuk mencoba piano ini. Aku suka bermain alat musik klasik sejak kecil, menguasai piano dan biola. Mereka temanku saat aku sendirian di rumah, ketika ayah harus berpergian.

Ku mainkan jemariku dengan lincah di atas tuts-tuts piano ini. Meresapi setiap nada yang keluar, menikmatinya. Membuatku tenang.

Saat aku selesai memainkan sebuah lagu, tiba-tiba terdengar tepuk tangan dari belakangku. Ku tolehkan kepalaku.

Seorang wanita, dengan rambut kecoklatan bergelombang sepinggang, memakai dress peach semata kaki tanpa lengan, berdiri samping pintu masuk ruang ini. Dia tersenyum anggun padaku, ku balas tersenyum dengan sedikit canggung karena telah lancang memainkan alat musik di sini.

"Kau selalu memainkannya dengan sempurna. Aku senang kau kembali ke rumah ini"

Kembali ke rumah ini? Bagaimana bisa?

"Ah, tidak, lupakan. Aku senang akhirnya ada yang memainkan alat musik di sini. Sudah lama sekali Fernand tak mau memainkan ini semua" wanita itu berjalan ke arahku, masih dengan senyumannya.

"Maaf jika aku lancang memainkannya." Ucapku pelan sambil memandang wanita di depanku dengan penasaran.

Jika dilihat dari wajahnya, dia lebih dewasa dari Fernand, mungkin kakaknya.

"Aku Feronica, ibu Fernand. Dan aku sudah tau kau adalah Angel"

Ibu? Ibu Fernand? Bahkan wanita ini terlihat terlalu muda jika harus menjadi ibu Fernand.

"Jangan kaget seperti itu. Fernand masih 30 tahun, aku menikah dengan ayah Fernand selepas aku lulus SMA. Tentu saja aku masih muda"

"Ma.. maaf, nyonya. Aku tak bermaksud..."

"Tidak apa-apa, Angel. Dan jangan panggil aku nyonya, panggil saja mom. Kau mau menemaniku berbincang di bawah, dengan secangkir teh? Belum terlalu malam sepertinya, jika aku mengajakmu mengobrol denganku"

"Baiklah, m mom" aku masih merasa tak enak karena pandangan menilaiku tadi.

Ku balikkan tubuhku lagi berniat menutup piano yang terbuka, tapi tatapanku tertuju pada ukiran emas di atas piano. FA.

Dan tiba-tiba sekelebat bayangan muncul di kepalaku, memunculkan adegan aku meraba tulisan itu, seolah-olah itu sudah sering terjadi. Tapi aku baru melihat piano ini untuk yang pertama.

Dan sakit kepala menyerangku. Membuatku harus menunduk dan memegang kepalaku.

"Angel, kau kenapa?" Ku dengar suara Feronica yang khawatir, lalu semua gelap.

Tbc
Gimana? Gimana? Semoga alurnya gak kecepetan.
Ku tunggu vomment dari kalian. :)

Remember me, AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang