Bab 7

52 0 0
                                    

Roselina merasa senang atas kehadiran Mario duduk di sampingya, dan ia pun merebahkan kepalanya ke bahu kanan Mario yang semakin lama semakin menjadi-jadi, jantungnya berdebar-debar keras. Mario pun mencoba menenangkan dirinya dengan membelai rambut Roselina.

“Oh…Tuhan, inikah gadis yang Engkau tunjukkan padaku…”, bisiknya dalam hati, dan Roselina mulai tertidur karena belaian tangannya.

“E-hem, e-hem…”, Roy datang mendekat.

Seketika itu juga mereka berdua nyaris terkejut dan bergegas melepaskan rangkulannya masing-masing.

“Maaf, mengganggu…, apa kalian belum tidur”, tanya Roy sambil menggaruk-garuk kepala, pura-pura tidak tahu apa yang ia lihat.

“E…, sebentar lagi kami akan tidur”, jawab Mario dengan ragu.

“Emang uda jam berapa ni…”, Roselina malah bertanya.

“Jam satu non…”, jawab Roy

“Jam satu…”, keduanya serentak terkejut.

Mario kemudian mengajak Roselina untuk beristirahat, dan ketiganya pun masuk ke dalam rumah. Mario dan Roy tidur di ruang tamu yang sudah berisi dengan laki-laki yang telah pulas tidur. Sedangkan  Roselina bergabung dengan wanita lainnya di kamar sebelah yang agak luas.

Suasana pun hening, tak satu pun suara manusia yang terdengar kecuali dengkur ayah Roselina, Andi dan suara-suara binatang malam.

Namun di tempat lain yang agak jauh dari kampung halaman  Roselina, yang berada di pinggir Kota Tarutung terdapat sepuluh orang dari beberapa golongan usia, berjenis kelamin pria sedang mengadakan sebuah rencana besar. Semuanya rata-rata mengunakan jaket hitam.

Mereka duduk di kursi mengitari meja panjang segi empat, yang telah berisi berbagai kulit kacang, minuman alkohol, rokok dan lain sebagainya.

“Para anak buahku sekalian, maaf aku terlambat karena aku tadi ada urusan dengan pimpinan mafia dari Malaysia”, katanya yang baru saja datang dan duduk di kursi di lebaran meja segi empat tersebut.

“Kita punya rencana besok, maksudku nanti pagi”, sambungnya dengan meralat ucapannya sambil menghidupkan sigaret kreteknya.

“Omong-omong apa rencana kita nanti bos”, tanya anak buah yang paling muda.

“Kami jadi penasaran…bos”, sambung temannya.

“Kalian belum tahu ya…! Begini, Diamond Tapanuli Hotel tidak memberikan setoran kepada kita”, papar pimpinan mafia tersebut. “Hanya hotel itulah yang belum memberikan upeti kepada kita”, lanjutnya sambil menikmati sigaretnya.

“Jadi, apa yang harus kami lakukan…”, tanya anak buahnya yang lebih dekat duduknya.

“Buat kerusuhan di sana….”, kata si pimpinan dengan membayangkan Diamond Tapanuli Hotel hancur porak poranda.

“Caranya gimana, bos…”.

“Iya, apalagi hotel itu banyak dijaga polisi”, sambung yang paling muda.

“Saya sebagai Jarot pimpinan Rojan Gan’k harus bisa membuat hancur hotel itu, kalau tidak jangan anggap kalian Jarot sebagai bos dan bersiap-siaplah untuk mendapatkan hadiah yang menyakitkan dariku. Bagaimana menurut kalian…”, paparnya sambil berdiri dengan memegang sisi meja sambil memandang anak buahnya satu per satu.

Semuanya tertunduk dan terdiam. Jantung mereka berdegup keras dan tak tahan membalas pandangan bosnya, si Jarot yang penuh dengan kebengisan dan kebencian.

Electric-ManWhere stories live. Discover now