Lembaran Baru

113 32 0
                                    

“Xiao Lie, lo bisa nggak sih, ngeberesin tempat tidur lo? Mata gue udah capek ngeliat kasur lo yang berantakan tiap pagi, tau!” aku bersungut, sebal.

Pagi ini aku tak bisa lagi menahan kekesalanku pada Xiao Lie karena ia tak bisa merapikan wilayah tempat tidurnya sedikit pun.

Oke, sepertinya aku lupa cerita dari awal. Jadi, begitu tiba di Surabaya, Bunda memasukkanku ke sekolah asrama yang bernama SMA Pelita Bangsa. Di sini, aku menemukan teman baru yang sangat ramah. Dan di sini, aku tidak menyamar sebagai cewek kampung lagi. Aku tidak menutupi apa pun. Bunda bersikeras melarangku melakukannya.

Salah satu teman yang kudapatkan, ya teman sekamarku ini. Namanya Zing Xiao Lie. Kedua orangtuanya adalah asli keturunan China yang sudah lama menetap di Indonesia. Meskipun namanya terdengar aneh, aku tak dapat menahan tawaku saat mengetahui bahwa ia sedikitpun tidak mengerti bahasa China, karena dia sejak lahir berada di Indonesia.

Palingan, dia hanya tau kata ‘xie xie’ yang artinya terima kasih, kata ‘dui bui qi’ yang artinya maaf, dan kata ‘ni hao’ yang artinya halo.

“Yaa, lo tau sendiri kan, gue ini orangnya paling nggak rapi dan pemalas sedunia!” Xiao Lie tampak tak peduli dengan sungutanku. Ia malah sibuk memainkan iPad-nya sambil duduk dengan santai di atas kasurnya yang berantakan.

“Hah, pantesan elo dimasukin ke sekolah berasrama!” aku mendengus kesal, lalu beranjak pergi keluar kamar.

Hari ini adalah hari Minggu, bulan ketujuh setelah aku menjalani hariku di Surabaya. Aku cukup betah tinggal di asrama ini. Banyak teman yang tidak merendahkan derajat orang lain—seperti si Feyna itu lhoo. Tak salah Bunda memasukkanku ke sekolah bergaya Belanda ini.

Aku berjalan menuruni tangga, dan setengah berlari menuju taman yang berada di samping asrama cewek, yang biasanya digunakan penghuni asrama untuk belajar bersama.

Aku duduk di atas ayunan kecil yang berada di sebelah pohon jambu. Lalu, mengedarkan pandanganku ke sekeliling taman.

Kursi dan meja beton yang dirancang oleh Bu Linda—kepala sekolah SMA Pelita Bangsa—benar-benar bagus, dan tidak membuat mata cepat lelah. Meja beton yang ditata rapi diberi warna pelangi.

Sementara itu, bangku betonnya diberi warna putih bersih. Bu Linda juga membuat dua buah ayunan kecil untuk bersantai. Satu ayunan terletak di sebelah pohon Jambu, dan yang satu lagi terletak di sebelah bunga-bunga Melati yang ditanam di samping ayunan tersebut.

Aku mengayun pelan. Pikiranku menerawang pada sahabatku yang berada di Jakarta. Tami dan Claudia. Sudah lama tak bertemu mereka.

Aku bahkan lost contact habis-habisan dengan mereka begitu pindah ke Surabaya. Sebab, HP-ku tertinggal di sofa ruang tamu ketika akan berangkat ke Surabaya. Aku juga tak mengingat nomor telepon mereka masing-masing.

Dan aku juga bukan seseorang yang aktif dalam menggunakan media sosial. Bukan nggak aktif lagi, sih. Tapi aku bahkan tidak memilik akun media sosial apapun. Yah, terserahlah mau bilang aku apa. Nggak gaul lah, nggak modern lah. Aku nggak peduli.

“Hei, lagi mikirin apa, sih?” usik sebuah suara di belakangku.

Aku menoleh, dan mendapati wajah Reffan tengah menatapku penuh senyum. “Ng, ... lagi mikirin sahabat gue di Jakarta ...”

Reffan adalah salah satu cowok idola di sekolahku, yang  kabarnya—cuma ‘kabarnya’ lhoo!—sedang PDKT padaku.

Mendengar jawabanku, Reffan hanya mengangguk kecil, lalu berdiri di samping tiang ayunan. “Lo kangen mereka, kan?”

“Pastinya ...” aku menatap mawar yang tumbuh beberapa meter dari pohon Jambu.

“Gue juga. Tapi gue kangen orang tua gue di Jakarta.”

Aku terkejut. “Hah? Orang tua lo di Jakarta? Trus, lo ngapain sekolah di Surabaya?”

“Waktu SMP, gue adalah anak bandel yang sering cabut. Trus, orangtua gue langsung nyuruh gue tinggal di Surabaya sama nenek gue. Dan, nenek gue nyuruh gue masuk ke sekolah asrama. Awalnya, gue nggak mau. Tapi, karena dipaksa-paksa ... yah, akhirnya gue mau juga ....”

Aku hanya manggut-manggut.

“EHEM!”

Terdengar dehaman keras dari arah belakangku. Aku menoleh, dan mendapati Xiao Lie, Chrissy, dan Naila yang mengerling kepadaku dengan jail.

“Cieee ... kalian ngapain, nih? Berduaan di taman sekolah ... Hati-hati, lhoo! Kalau kepergok sama guru, orang tua kalian bakal dipanggil!” pesan Naila sambil berjalan ke arahku. Chrissy dan Xiao Lie mengikutinya dari belakang.

“Jangan ngawur kalian! Gue nggak lagi berduaan sama Reffan, tau! Ada makhluk hidup lagi di taman ini selain kami berdua!” bantahku, cepat.

“Siapa?” kening Chrissy bertaut.

“Pohon jambu, bunga Mawar, bunga Melati. Kan mereka makhluk hidup juga!” sahutku.

Xiao Lie, Chrissy, dan Naila melengos mendengar jawabanku. Tiba-tiba ponsel Reffan berdering, sebelum kemudian ia pamit padaku dan sahabat-sahabat—baru—ku.

“Eh, lo nggak sarapan?” tanya Xiao Lie, setelah Reffan pergi.

“Eh, iya, ya! Uh, gara-gara elo, nih. Gue jadi lupa sarapan!” desahku.

Xiao Lie tampak terkejut mendengar jawabanku. Matanya yang sudah sipit bertambah sipit menatapku. “Kok gara-gara gue?”

“Lo nggak beresin tempat tidur lo. Jadinya, gue marah-marah dan lupa sarapan!”

“Ooh, itu sih salah elo juga! Lagian, siapa juga yang nyuruh lo ngomel ke gue?” balas Xiao Lie.

“Ah, udah lah. Sekarang, mendingan kita pergi ke kantin, dan ambil sarapan!” Chrissy menengahi.

***

BRUK!

“Bweek! Nggak kena, nggak kena!” Xiao Lie mencibir begitu berhasil mengelak dari lemparan bukuku.

Aku merengut kesal. Benar-benar menyebalkan. “Xiao Lie! Seharusnya lo juga merapikan daerah bagian lo dong, sementara gue merapikan bagian gue juga!”

“Nggak. Males.” Xiao Lie menjawab singkat sebelum akhirnya kembali sibuk main game di MacBook-nya.

Aku memberengut. Saat ini, aku tengah sibuk merapikan kamar—tepatnya, setengah bagian kamar yang merupakan daerah kekuasaan-ku—yang berantakan gara-gara ulahku. Yah, ulahku. Aku lupa di mana meletakkan salah satu novel favoritku. Akibatnya, aku jadi harus mengobrak-abrik kamar ini.

Bodohnya, beberapa saat setelah aku membongkar kamar ini, aku baru ingat bahwa novel yang satu itu kini tengah dipinjam oleh Uzi, teman sekelasku yang berada di asrama sebelah. Terpaksa deh, aku nerima nasib harus kembali merapikan kasurku yang sudah seperti kapal pecah.

Saat hendak menyusun kembali isi laci lemariku yang tadinya kuhamburkan keluar, perhatianku tersita oleh sebuah kotak biru muda kecil yang agak lusuh. Aku meraih benda tersebut, dan membukanya.

Sebuah kalung perak indah dengan liontin berinisialkan huruf A, menyilaukan pandanganku. Inisial A. Amel. Namaku.

Aku tercenung, kembali mengingat seseorang yang telah memberiku kalung indah ini. Sudah tiga tahun lebih ... sudah tiga tahun lebih aku tak bertemu dengannya. Bagaimana kabarnya sekarang?

Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan namanya dari benakku. Namun, tak urung akhirnya pikiranku menerawang, melayang menembus masa dua tahun yang lalu, ketika aku dan dia masih kelas satu SMP ...

***

Part 3-nya gimana? Pendek ya? Maklumi sajalah diriku yang menulis cerita ini saat masih menjadi pemula Y.Y
Yaudadeh, jangan lupa vote & comment, ya! ^^

Beautiful TargetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang