15 bulan kemudian ...
Aku berjalan memasuki gedung sekolah. Sudah lama sekali aku tak ke sini. Banyak yang berubah dari bangunan tersebut.
Catnya yang sudah berubah menjadi warna putih, hingga sebuah taman yang masih dalam tahap pembangunan di dekat gerbang sekolah.
Kurasakan pandangan orang-orang disekitarku yang memandangku dengan heran sekaligus takjub. Aku melangkahkan kakiku menuju kelas baruku, bersama Pak Duski yang akan mengajar di kelas baruku pagi ini.
Aku sudah menjalani kehidupanku di Surabaya selama dua tahun kurang. Hingga akhirnya, aku kembali ke Jakarta dengan perasaan sedih campur bahagia. Sedih, karena akan berpisah dengan teman baruku. Bahagia karena akan bertemu dengan sahabat lama, seperti Tami dan Claudia.
Aku sempat meminta pada Bunda agar aku menamatkan pendidikan SMA-ku di Surabaya saja, dan aku tinggal di rumah Om Im. Tapi Bunda menolak, bersikeras agar aku ikut dengannya dengan alasan tidak ingin merepotkan Om Im.
Aku masih ingat ketika Reffan, Xiao Lie, Chrissy, dan Naila mengantarku ke bandara.
"Kapan-kapan, kalau lo berkunjung ke Surabaya, jangan lupa mampir ke SMA Pelita Bangsa! Inget itu. MAMPIR KE SMA PELITA BANGSA!" itu kata Xiao Lie.
"Awas kalau lo sampe lupa sama kita-kita di sini!" ini kata Naila, dengan wajah horor.
"Kalo lo pacaran, jangan lupa kenalin tuh cowok sama kita-kita, ya!" dan ini perkataan konyol Chrissy.Sementara Reffan tampak sedih dan no comment. Ia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, tapi hingga aku masuk untuk check-in pun, ia masih belum mengatakan apa-apa.
Aku hanya tersenyum kecil membayangkan perkataan teman-temanku saat itu.
Kutatap papan kecil yang bertuliskan XII-IPA-A, yang digantungkan di depan sebuah kelas. Yap, itulah kelas baruku.
Pak Duski membuka pintu kelasku perlahan.
Aku mempersilahkan Pak Duski untuk masuk duluan. Lalu, aku mengekornya dari belakang. Begitu masuk kelas, kulihat tatapan seisi kelas yang sepenuhnya tertuju padaku.
Para siswi menatapku dengan heran sekaligus penasaran. Sementara, yang siswa menatapku dengan tatapan berbinar-binar. Entah apa yang ada dalam otak mereka masing-masing saat ini.
Tiba-tiba pandanganku terfokus pada Tami yang duduk di kursi urutan nomor dua dari belakang. Ia membelalak menatapku. Melegakan juga karena aku bisa sekelas dengannya lagi. Benar, dia pasti sudah mengenaliku karena ia pernah melihat tampang asliku sebelumnya.
Well, aku memang tidak menyamar lagi sekarang.
Aku menatap ke sekeliling kelas. Seluruh siswa di kelas ini, hanya beberapa orang yang aku kenal. Mereka pun adalah teman sekelasku dua tahun yang lalu. Seperti Tami, Ocha, Immel, Salsa, Lidya, Ayi, dan Velia yang duduk sebangku dengan Tami.
Sementara itu, aku hanya melihat sekitar dua orang cowok yang sekelas denganku dulu.Setelah meletakkan penggaris panjang, dan buku materinya di atas meja guru, Pak Duski langsung memperkenalkanku sebagai siswa pindahan yang sebelumnya bersekolah di sekolah ini.
Dan Pak Duski pun menyuruhku untuk kembali memperkenalkan diri, karena ada beberapa orang siswa yang belum mengenaliku.
Hell, apa mereka pada pikun? Aku cukup yakin bahwa banyak yang masih ingat dengan kejadian menyedihkan di hari ulang tahunku dua tahun lalu.
Setelah itu, Pak Duski mempersilahkanku duduk di meja kosong yang berada di belakang Tami.
Tatapan takjub dari siswa di kelasku menghujam kepadaku ketika aku berjalan menuju kursiku yang berada paling belakang. Tami pun menyambutku dengan senyum cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Target
Teen FictionBecause you didn't know how it feels. -Amelia Dwi Lusiana-