The Past

103 29 4
                                    

Tiga tahun yang lalu ...

Pagi itu, aku berjalan riang menuju sekolah. Meskipun cuaca pagi ini sangat tidak bersahabat melihat awan hitam yang bernaung sejak pagi subuh, semangatku tetap tidak memudar.

Kususuri trotoar, dan berhenti di samping lampu merah, tepat di pertigaan jalan. Lampu tengah menyala hijau, sehingga aku belum berkesempatan untuk menyeberang.

Begitu lampu berubah merah, dengan hati-hati aku menyeberang, dan menyapa Om Tian-teman Ayah yang berprofesi sebagai seorang polisi-yang berdiri di tengah jalan, mengatur keadaan lalu lintas yang tengah ramai-ramainya.

Om Tian hanya tersenyum lebar, sebelum akhirnya kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Begitu sampai di seberang jalan, suatu insiden menarik perhatianku. Di sebuah gang kecil yang merupakan salah satu gang penghubung jalan raya menuju sekolahku, tampak gerombolan kakak kelas yang sangat kukenali akan keberandalannya, tengah mengerubungi seorang siswa laki-laki-yang mungkin seumuran denganku-yang tampak ketakutan.

Terlihat olehku beberapa lembar uang sepuluh ribu yang direbut dari anak laki-laki malang itu. Benar-benar deh, penyakit berandal mereka memang sudah akut banget sampai harus mengompas adik kelas mereka.

Kasihan melihatnya, kuberanikan diriku untuk mendekati gerombolan itu.

Bukannya aku belagu, tapi aku punya seseorang yang-kuharap-membantuku. Karena itulah aku berani mendekat.

"Hei!" pekikku.

Refleks, mereka beralih menatapku dengan tampang takjub. Mungkin kehadiranku membuat mereka terkejut.

Dengan setitik keberanian, aku pun berkata dengan suara bergetar. "Kembalikan uangnya ..."

Mereka tertawa melihat keberanianku. "Kembalikan? Emangnya kamu siapa, hah?"

Takut jika mereka keburu melukaiku, aku segera mengeluarkan jurus andalanku. "Kalau tidak ... akan kulaporkan kalian pada polisi!" yah, aku tau, kata-kataku memang terlalu kekanak-kanakan. Tapi aku tak punya cara lain lagi. Lagipula, kaki dan tanganku sudah bergetar hebat menahan malu dan takut.

Seperti yang sudah kuduga, mereka tertawa keras. "Polisi? Mana polisi? Jangan hanya bisa menggertak! Tunjukkan pada kami!"

Aku mundur sedikit. Begitu sudah berada di ujung gang, kulihat Om Tian yang sudah duduk di pos polisi. Syukurlah.

"Om Tian!" Om Tian menoleh begitu aku memanggilnya. Ia pun berjalan mendekat.

"Ada apa, Mel?" tanya Om Tian, masih tersenyum lebar. Dalam beberapa pertemuan, biasanya Om Tian langsung mencubit kedua pipiku yang chubby. Tapi aku yakin, dia tak mungkin melakukannya dalam keadaan seperti ini.

Dapat kulihat dari sudut mataku, bahwa beberapa kakak kelasku yang berandal itu langsung ketakutan setengah mati melihatku membuktikan gertakanku.

Tak berniat untuk melaporkan kakak kelasku itu pada polisi, aku pun mencari alasan lain untuk berbasa-basi. Aku hanya akan memperpanjang masalah jika beneran melaporkan mereka. "Om, ... Om kapan ke rumah Amel lagi? Amel kangen sama Tata, nih ..."

Tata adalah anak Om Tian yang masih berusia satu setengah tahun, dan tak tanggung imutnya dengan pipi tembem, bulu mata panjang, dan rambut yang sering diikat seperti air mancur.

"Wah ... mungkin minggu depan kali ya, Mel ...?" Om Tian tampak berpikir.

"Oke, Om! Ditunggu, ya!" aku pun langsung berlagak senang.

"Eh, ini ada apa, nih?" tanya Om Tian, begitu melihat gerombolan kakak kelasku yang jelas sekali tampak berandal.

"Mereka bayar hutang, Om!" sahutku, cepat.

Beautiful TargetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang