Yang Pertama

1.1K 43 2
                                    


Nesa masih membeku memandangi mendung yang sudah menggantung di langit, tapi tak setitik pun butiran bening itu jatuh ke bumi. Debu-debu berterbangan diembuskan angin musim kemarau yang terlalu panjang. Pucuk daun murbei terlihat kusam tertutup debu dengan daun-daunnya yang hampir meranggas.

Beberapa anak kecil tampak berlarian, tak peduli dengan tubuh mereka yang kotor. Lima anak kecil, Nesa menghitung dalam hati. Tiga anak laki-laki berusia sekitar 7-10 tahun, yang satu bertubuh jangkung dibandingkan dengan dua temannya yang lain. Dan dua gadis cilik, satu dikuncir ekor kuda dan satunya lagi berambut pendek mirip anak laki-laki.

Nesa hanya tersenyum memandangi mereka yang asyik bermain kejar-kejaran. Seandainya saja dia dan Devan tidak berpisah, mungkin saja mereka sudah punya anak sebesar itu sekarang.

Sadar sudah berpikir terlalu jauh, Nesa segera menepis khayalannya. Devan akan kembali. Itu pasti!

Dengan langkah setengah diseret Nesa meninggalkan taman itu, sebuah taman yang menjadi tempat perjanjiannya dengan Devan. Sepuluh tahun lalu.

-

Kini usianya sudah 38 tahun, bukan usia muda lagi untuk seorang wanita yang belum menikah. Beberapa kerutan mulai terlihat di kening dan pinggiran matanya yang cekung. Tubuhnya hampir seperti tulang yang terbungkus kulit.

Nesa memandangi cermin antiknya dengan seksama, melihat wanita tua yang berada di balik cermin itu. Wanita tua yang selalu berharap kekasihnya akan datang untuk menjemputnya.

"Kau tidak datang, Devan," bisiknya parau.

Nesa mengambil sisir yang tergeletak di meja riasnya bersama botol-botol kosmetik yang tidak pernah disentuhnya. Membuka kerudung biru langitnya dan membiarkannya jatuh begitu saja di lantai.

Tangannya gemetar ketika mendapati puluhan helai rambutnya yang rontok tersangkut di sisir. Ia meletakkan rambut itu di sebuah kotak kayu berukir bunga mawar berukuran sedang bersama rambut-rambutnya yang sudah gugur terlebih dahulu, menyisakan setengah dari jumlah rambutnya semula.

"Kau bilang, kau akan datang bersama dengan musim hujan. Apa kau tahu, setiap kali hujan turun aku selalu menunggumu di taman itu? Musim hujan sudah berlalu, Devan, tapi aku masih setia menunggumu. Sama seperti aku setia menunggu hujan yang sangat kau sukai," gumamnya lirih, airmata mengalir tanpa bisa ia cegah dan sengaja ia biarkan tetap mengalir. Berharap dengan begitu akan mengurangi kepedihannya.

Bayangan itu terus berputar dalam benaknya, bagaimana Devan mencintainya, begitu pun sebaliknya.

-

"Sepertinya mau hujan, Dev," Nesa memandang langit dengan muram.

"Lalu? Apa kau takut?" tanya Devan sambil memamerkan gigi-giginya yang berbaris putih dan rapi.

"Aku hanya tidak suka hujan," keluh Nesa, ia menutup telinga dan memejamkan matanya sekejap ketika mendengar bunyi petir yang menggelegar sangat keras.

"Jangan takut, kau aman bersamaku," bisiknya hampir tidak terdengar karena suara hujan yang begitu deras, dan karena Nesa menutup telinganya. Tapi, melalui gerak bibirnya Nesa bisa membaca apa yang ia katakan dan ia merasa aman untuk menurunkan tangannya.

"Rasanya tidak terlalu buruk, kan? Cuaca dingin karena hujan ditemani secangkir cokelat panas dan orang yang kita cintai," ujar Devan mesra di telinga Nesa, membuat gadis itu bergidik karena embusan napas hangat kekasihnya yang mengenai tengkuknya. Wajahnya sudah merona dan semerah tomat masak.

"Aku suka pipimu yang merah setiap kali aku merayumu," goda Devan membuat Nesa semakin tertunduk malu. "Aku mencintaimu, Nesa."

"Aku juga...."

"Aku sudah tahu," potong Devan cepat.

"Hei, aku belum selesai bicara!" protes Nesa kesal.

"Aku tahu kau akan bilang kalau kau juga mencintaiku, jadi tidak perlu dikatakan, Sayang," tukasnya percaya diri.

"Aku tidak akan bilang begitu," dusta Nesa malu, ia membuang muka menatap angin yang semakin kencang di luar sana.

"Lalu?" selidik Devan, ia tahu apa yang ada dalam pikiran kekasihnya yang pemalu itu. Rasanya senang bisa menggodanya setiap kali bertemu. Bisa melihat wajahnya yang memerah dan senyumnya yang menawan merupakan kebahagiaan tersendiri untuknya.

"Aku mau bilang..."

"Sssttt...! Jangan bilang apa-apa. Kau bisa mengatakannya nanti saat hari pernikahan kita," ucapnya sambil menutup mulut Nesa dengan jari telunjuknya.

Nesa terbelalak, menikah?

"Maukah kau menikah denganku, Nesa Antryanisari?" pinta Devan sambil menyodorkan sebuah kotak mungil berwarna merah muda, warna kesukaan Nesa.

"Kau sedang melamarku?" tanya Nesa tidak percaya.

Devan mengangguk mantap, senyum simpul tercipta di bibirnya yang tipis dan merah karena tidak pernah tersentuh rokok.

Ia membuka kotak yang semula Nesa kira sebuah cincin, namun ternyata isinya adalah sebuah kalung emas putih dengan liontin berbentuk tetesan air dengan sebuah inisial DN terukir manis di tengahnya dikelilingi beberapa permata yang berkilau.

"Aku mau, Devan. Aku mau," jawab Nesa serak, ia tidak mampu membendung airmata bahagianya.

~ oOo ~




Menanti Hujan di Ambang KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang