Yang Ketujuh

502 35 17
                                    


Ketika hari semakin kelam, bukan berarti tidak akan ada lagi matahari. Ia hanya bersembunyi, sampai hujan sudah puas tercurah ke bumi.

-

"Sudah sore, ayo pulang, Nes," ajak Raffie lembut.

Taman itu memang indah, setiap sore selalu banyak pemuda-pemudi yang sengaja datang untuk melepas penat atau sekedar mengobrol ria bersama teman-teman dan pasangannya. Tapi hari ini lain, langit sudah sangat gelap dan suara petir mulai terdengar di kejauhan. Beberapa kali sinar blitz alam menampakkan dirinya dengan angkuh.

"Aku masih mau di sini, sebentar saja. Kumohon...," pinta Nesa memelas, "Kau bisa pulang duluan kalau kau mau, aku sudah terbiasa pulang sendirian," usulnya menambahkan.

Raffie melihat jam tangannya dan menengok ke langit, gerimis mulai turun perlahan dan ia hanya bisa menghela napas panjang lalu kembali duduk di sebelah Nesa.

"Baiklah, 5 menit lagi," kata Raffie.

Nesa hanya tersenyum, dan kembali meneruskan kegiatannya, memandangi rumput dan taman bunga dengan tatapan kosong.

"Tempat ini masih sama seperti dulu," gumaman lirih itu sukses membuat Nesa berdiri kaku. Suara itu, suara yang sangat ia kenal meskipun sudah bertahun-tahun tidak pernah mendengarnya lagi. Suara itu ...

Nesa menoleh ke arah pemilik suara yang berdiri beberapa meter di belakangnya. Seorang pria berkaos polo berwarna merah dan celana khaki hitam dipadu dengan sepatu olahraga dan jaket abu-abu tersampir di lengan kanannya.

"Devan ...," panggil Nesa, ia tidak percaya pada penglihatannya. Devannya kembali, dia benar-benar kembali!

Pria itu menoleh, menatap Nesa dengan kening mengernyit lalu seketika senyum cerah menghiasi bibirnya. Senyum khas seorang Devan!

"Nesa! Apa benar ini kau, Nes? Kau kelihatan berbeda dengan kerudung ini. Aku hampir tidak mengenalimu, kau terlihat lebih cantik," cecar Devan bersemangat, matanya berbinar senang.

"Kau... Lama sekali baru datang," kata-kata Nesa tercekat di tenggorokan karena menahan tangis.

"Ceritanya panjang, Nes." Devan tersenyum miris, ia melangkah mendekati Nesa hingga hanya tersisa beberapa langkah jarak diantara mereka.

"Aku hanya ingat kalau aku sedang menuju ke rumahmu ketika sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi ke arahku, lalu terbangun di sebuah rumah sakit di Singapura 3 tahun kemudian. Kau tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanku saat itu. Tubuhku mati rasa tanpa bisa digerakkan sama sekali, tapi aku bersyukur aku masih hidup," ucapnya dengan ekspresi sedih dan tersenyum sekaligus.

Nesa sudah hampir berlari memeluk Devan kalau saja tangannya tidak dipegangi oleh Raffie dengan erat. Sesekali mata Devan melirik tangan mereka sehingga Nesa berusaha keras untuk melepaskannya.

"Kau tahu apa yang paling ingin aku lakukan saat itu?" tanya Devan, matanya menatap Nesa lurus.

"Apa?" tanya Nesa serak.

"Aku ingin menemuimu dan meminta maaf karena tidak bisa memenuhi janjiku," jawab Devan sambil tersenyum.

"Tidak apa-apa, kau sudah datang sekarang, Devan," sahut Nesa cepat.

"Ya, aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk bertemu denganmu. Aku pernah hampir bunuh diri karena putus asa dengan keadaanku waktu itu. Beruntung seorang suster yang baik hati menyadarkanku dan mau merawatku selama setahun penuh sampai aku sembuh total," lanjut Devan.

"Kau sangat beruntung, Devan, dia pasti orang yang baik," ucap Nesa, ada kecemburuan menelisik hatinya. Seandainya ia yang berada di posisi suster itu, namun segera ia tepis.

"Wah, hujan!" pekik Devan senang, satu per satu tetesan air itu membasahi mereka.

"Oh iya, ngomong-ngomong, kau belum mengenalkan suamimu padaku, Nes," goda Devan, tangannya masih menengadah mengumpulkan air hujan. Wajahnya terlihat sangat bahagia tanpa ada raut kesedihan atau pun kekecewaan.

"Suami?" Nesa balik bertanya dengan bingung, lalu tatapannya beralih pada Raffie dan ia mengerti maksud ucapan Devan.

"Dia ...."

"Papa!" 

Kata-kata Nesa terputus ketika melihat seorang anak laki-laki berusia sekitar 4 tahunan menubruk kaki Devan dan memanggilnya Papa.

"Justin! Jangan hujan-hujanan, tunggu Mama!" teriak seorang wanita muda berkulit putih dan berambut cokelat gelap dengan panik.

"Lihat anakmu, Pa. Dia persis sepertimu, senangnya main hujan-hujanan," gerutu wanita itu pada Devan sambil memegangi payungnya.

"Tidak apa-apa, Ma. Dia tidak akan sakit karena hujan-hujanan," bela Devan sehingga membuat anak itu bersorak bahagia.

"Oh ya, Nes, perkenalkan ini anakku, Justin. Dan wanita ini adalah isteriku, Elody. Dia adalah suster baik hati yang sudah merawatku yang tadi aku ceritakan. Dan sekarang ia sedang mengandung anak kedua kami, baru memasuki bulan ketiga jadi belum kelihatan," kata Devan dengan penuh semangat, sementara Elody tersenyum malu-malu. Pipinya merona sehingga membuatnya tampak semakin cantik.

Raffie memegang bahu Nesa dengan erat karena gadis itu kelihatan hampir merosot ke tanah. Meskipun saat ini hujan, tapi ia bisa melihat air mata Nesa dibarengi dengan senyum yang ia paksakan untuk keluarga bahagia itu.


TBC


Menanti Hujan di Ambang KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang