Yang Kedua

448 32 0
                                    


Rencana hanya tinggal rencana, pernikahan itu seperti sebuah mimpi yang indah. Dan saat kau terbangun, kau mendapati dirimu sudah tidak berdaya, tidak punya apa-apa. Sebuah tragedi harus merampas Devan dari sisinya. Dia tidak mati! Dia masih hidup! Hanya saja, keadaannya sudah berbeda.

-

"Sayang, hari ini Papa dan Mamaku akan tiba di Jakarta. Mereka mengambil penerbangan paling pertama dari Palembang begitu tahu kalau aku sudah melamarmu. Mereka sangat tidak sabar untuk bertemu calon menantunya," suara Devan terdengar antusias daripada biasanya.

Meskipun cuma berbicara di telepon, tapi Nesa bisa membayangkan wajah Devan yang berbinar setiap kali menatapnya. Ah, rasanya begitu bahagia bisa memiliki kekasih dan calon suami seperti Devan.

"Aku juga tidak sabar untuk bertemu dengan calon mertuaku, sayang," Nesa sedikit malu ketika mengatakan calon mertua, mungkin karena belum terbiasa dan itu membuat Devan semakin gemas membayangkan pipi Nesa yang merona.

"Aku merindukanmu, Nes," bisik Devan parau.

"Aku juga," balasnya lirih, ia menunduk dalam meskipun ia tahu Devan tidak bisa melihatnya. Ia selalu malu untuk mengatakan perasaannya pada kekasihnya, meskipun ia sudah bertahun-tahun menjalani hubungan dengannya.

"Jangan menunduk, aku tidak bisa melihat wajahmu," canda Devan sambil terkekeh.

Nesa celingukan, ia sedang sendirian di kamarnya, mana mungkin Devan bisa melihatnya? Akhirnya ia hanya bisa ikut tertawa ketika tahu bahwa Devan cuma menggodanya. Seperti biasa, dengusnya geli.

"Bagaimana kau tahu kalau aku sedang menunduk?" tanya Nesa penasaran.

"Tidak perlu kujelaskan. Ini rahasia!" jawabnya masih dengan tawa khasnya. "Aku jadi ingin benar-benar melihatmu sekarang. Bagaimana ini?"

"Bukankah kau harus segera menjemput orangtuamu ke Bandara?" Nesa mengingatkan.

"Pesawat mereka masih akan tiba dua jam lagi, kurasa kalau aku ngebut, aku masih bisa melihatmu meskipun cuma sebentar," kata Devan bersemangat.

"Perjalanan ke Bandara itu jauh, Devan. Kau bisa terlambat nanti karena jalanan macet," tegur Nesa lagi.

"Kurasa mereka bisa menunggu. See you, honey. I love you!"

"Tunggu, Devan! Jangan ngebut!" teriak Nesa, ia berdecak kesal begitu tahu kalau teleponnya langsung dimatikan. "Setidaknya kau harus memberi salam," gerutunya.

Begitulah Devan, tak ada yang bisa mencegahnya kalau ia sedang bersemangat. Terkadang pria itu akan nekad datang ke rumah Nesa di pagi buta hanya untuk melihatnya selama 10 menit saja. Hanya duduk diam dan mengamatinya sambil tersenyum, itu sudah cukup untuknya. Devan adalah sebuah keajaiban yang diberikan Tuhan ke dalam hidupnya.

Ternyata Nesa juga sangat merindukan kekasihnya itu. Tidak bertemu dengannya selama dua hari membuatnya tidak sabar menunggu. Berulang kali dilihatnya jam dinding yang terus berputar. Satu jam, dua jam sampai akhirnya hari mulai gelap, tapi Devan belum datang juga.

Nesa mulai khawatir, ponselnya tidak bisa dihubungi. Seharusnya Devan sudah tiba sejak tadi, jarak dari kantor ke rumahnya hanya membutuhkan waktu 30 menit. Dan sekarang 3 jam sudah berlalu. Pikiran-pikiran buruk mulai terlintas di benaknya.

"Semoga Devan baik-baik saja," kalimat itu terus digumamkan sampai Ibunya kebingungan melihatnya.

"Ada apa, Nes?" tanya Ibunya yang baru pulang dari hajatan tetangga sebelahnya, heran.

"Devan, Bu," jawab Nesa singkat.

"Ada apa dengan Devan?" tanya Ibunya masih tidak mengerti.

Belum sempat Nesa menjawab, ponselnya melengking dengan tinggi menyenandungkan lagu Demi Lovato, Let It Go, lagu favoritnya.

"Assalamu'alaikum," sapa Nesa datar mendapati nomor tidak dikenal meneleponnya.

"Wa'alaikumsalam. Nesa, ini Ibu, Nak. Ibunya Devan," suara khas seorang Ibu terdengar bergetar dari ujung sana.

Nesa tersenyum sumringah sekaligus deg-degan mendapat telepon dari calon mertuanya.

"Wah, Ibu, kapan Ibu sampai? Apa Devan menjemput ke Bandara? Soalnya tadi dia bilang mau mampir dulu ke ...."

"Nes, Devan ...." potong Ibunya dengan suara tercekat menahan tangis.

"Ada apa dengan Devan, Bu? Devan baik-baik saja, kan?" cecar Nesa panik.

Tidak ada jawaban, hanya suara isak tangis yang semakin menjadi yang Nesa dengar.

"Ehm, Nesa, Saya Ayahnya Devan," kini suara bariton itu mengambil alih, beliau mengambil napas sejenak sebelum mengabarkan hal yang sangat berat untuk diucapkan.

"Devan kecelakaan, Nes. Keadaannya kritis," setelah terdiam cukup lama, akhirnya Ayahnya Devan mampu berbicara meskipun suaranya lebih menyerupai bisikan.

Nesa masih terdiam di tempatnya. Devan kecelakaan, Devan kritis, Devannya yang sangat ia cintai. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya sampai akhirnya semuanya gelap.

~ oOo ~


Menanti Hujan di Ambang KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang