Ketika pilihan harus diambil, antara meninggalkan atau ditinggalkan. Selalu akan ada jalan tengah untuk sebuah masalah, yaitu, menunggu ...
-
Dalam ruangan steril bersekat kaca itu belahan jiwanya terbaring lemah tidak berdaya. Hampir seluruh tubuhnya dilapisi perban, Nesa bahkan hampir tidak bisa mengenali wajah kekasihnya tersebut.
"Devan," bisiknya lirih, tangannya menelusuri dinding kaca yang memisahkan mereka. Mengelus-elus bagian di mana ia bisa menyentuh bayangan kekasihnya.
Tak ada jawaban. Devan masih tidak bergerak, sama seperti sebulan yang lalu. Ketika pertama kali ia masuk ke rumah sakit ini karena kecelakaan. Hanya alat bantu kedokteran yang membuatnya masih bertahan hidup sampai sekarang.
"Happy birthday, Nesa," gumamnya kepada diri sendiri.
Hari ini memang hari ulang tahunnya. Hari yang tidak pernah ia anggap sebagai hari special. Yang membuatnya special adalah kehadiran Devan dengan berbagai kejutan menyenangkan yang selalu dilakukannya setiap kali Nesa berulang tahun.
Seharusnya hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk mereka berdua. Tapi ternyata, manusia hanya bisa berencana.
"Aku akan menikahimu tepat di hari ulang tahunmu yang ke 28, sesuai janji kita," kata-kata Devan masih terngiang di telinganya.
Mereka memang pernah berjanji saat masih duduk di bangku kuliah dulu. Mereka akan menunggu sampai lulus kuliah, bekerja dan mapan, lalu Devan akan melamarnya begitu usia mereka genap 28 tahun.
"Cepat bangun, Sayang. Aku menunggumu ...," ucapnya serak, berusaha untuk tidak menangis.
Wajah pucat itu tidak bereaksi, hidung dan mulutnya berisi selang-selang untuk memasok kebutuhannya selain infus di tangan. Tapi dari alat pendeteksi detak jantungnya yang ada di nakas, Nesa tahu Devannya masih hidup. Tepatnya berjuang untuk tetap hidup.
"Nes," sebuah panggilan lembut menelusup di telinganya.
Dilihatnya kedua calon mertuanya sedang berdiri memandangnya dengan prihatin.
"Iya, Bu," sahutnya hampir tidak terdengar.
Mulut Ibunya Devan hampir terbuka tapi kemudian terlihat ragu-ragu dan memilih untuk kembali bungkam. Matanya sudah tidak berbentuk karena terlalu sering menangis.
"Kau tahu bagaimana keadaan Devan, bukan?" akhirnya Ayah Devan angkat suara, setelah sebelumnya menghela napas berat.
Nesa mengangguk, tidak tahu harus berkata apa jadi ia memutuskan untuk menunggu kelanjutan kata-kata calon mertuanya.
"Kami senang sekali saat tahu Devan sudah mempunyai calon isteri, terlebih dia bilang kalau kalian sudah mencintai sejak masih kuliah dulu. Dan kami juga bersyukur karena ia memilih gadis baik-baik sepertimu. Seharusnya kalian sudah bahagia kalau keadaannya tidak seperti ini." Ayah Devan berhenti sejenak, berusaha menahan suaranya agar tidak bergetar. Tapi dilihat dari matanya yang berkaca-kaca, Nesa tahu kalau pria itu hampir menangis.
"Dokter bilang, kemunginan Devan untuk sadar sangat kecil...,"
"Itu berarti masih ada harapan, Pak," potong Nesa cepat, ia berusaha tetap optimis.
"Bapak tahu, kami juga tidak pernah berhenti berharap. Tapi, kamu lihat sendiri, selama satu bulan tanpa ada kemajuan membuat kami khawatir. Karena itu kami memutuskan untuk membawa Devan pergi," lanjutnya sendu, isterinya sudah terisak di sampingnya.
Hati Nesa mencelos mendengar kata 'pergi'. Apakah mereka akan memisahkan Devan darinya?
"Kami sudah berkonsultasi dengan Dr. Alex, beliau menyarankan kami untuk membawa Devan berobat ke luar negeri, dan beliau juga merekomendasikan dokter terbaik yang ada di sana yang merupakan sahabatnya sehingga kami akan diberikan kemudahan."
Ayah Devan memperhatikan raut wajah Nesa yang terkejut namun tidak berkata apa-apa sehingga ia kembali melanjutkan.
"Kami ingin menanyakan, apakah kamu sanggup untuk meninggalkan Devan? Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi nanti, jadi ...."
"Saya akan menunggu," sela Nesa cepat, ia sudah bisa menebak apa yang akan Ayah Devan katakan jadi ia memilih untuk tidak mendengarnya.
"Saya akan menunggu sampai Devan sadar dan kembali kepada saya. Karena saya yakin, Devan pasti sembuh," tambahnya mantap.
Orangtua Devan menatapnya iba lalu mengangguk pasrah. Gadis itu memutuskan untuk pamit pulang dan memberitahu Ibunya. Setengah berlari ia keluar dari rumah sakit, dadanya terasa sangat sesak dan hancur berkeping-keping.
Langit yang sedari tadi mendung tidak kuasa untuk menahan isinya lagi, menyembunyikan airmata Nesa yang perlahan mengalir setelah ia tidak mampu membendungnya lagi.
"Kamu akan kembali padaku, kan, Devan? Karena aku akan selalu menunggumu, jadi berjuanglah!" ujarnya kepada hujan yang membasahi tubuhnya.
"Aku akan datang bersama datangnya hujan. Karena aku sangat menyukai hujan, ia datang untuk memberi kehidupan namun tak jarang kematian menyertai setiap tetesnya yang melimpah." Nesa menutup matanya dan meresapi setiap kata yang pernah Devan ucapkan padanya.
"Aku akan selalu menunggu hujan, seperti aku menunggumu," bisiknya sendu.
~ oOo ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Hujan di Ambang Kematian
RomanceJangan salahkan cinta ketika berbuat diluar logika. Saat pilihan demi pilihan datang silih berganti, takkan ada yang bisa menggoyahkannya. Karena saat kita sudah memilih, kita tak akan bisa kembali. "Aku akan datang bersama hujan." Kata-kata itulah...