Yang Kelima

349 30 3
                                    


Surat untuk Devan.

Devan, hari ini hujan turun lagi, apakah di sana juga sedang hujan?
Kau ingat, dulu kita suka sekali mandi hujan. Kau akan menarikku ke tengah derasnya air hujan saat kau sedang bahagia, sedih atau pun bingung.

Aku sangat suka melihatmu tertawa saat bermain hujan. Bagiku kamu terlihat manis, tanpa raut wajah serius seperti saat menghadapi ujian dari Pak Santoso, guru Fisika kita yang terkenal killer itu.

Musim hujan sudah datang sepuluh kali, artinya sepuluh tahun sudah kita berpisah. Apa wajahmu masih sama seperti dulu? Matamu yang sipit hampir tidak kelihatan kalau sedang tertawa. Kadang kupikir aku bisa sembunyi saat kau sedang tertawa tanpa takut ketahuan, tapi aku tidak pernah melakukannya. Aku takut, kau tidak akan pernah mencariku.

Aku masih tetap tinggal di sini, di rumah yang biasa kau datangi setiap malam minggu sambil duduk di teras memandang bintang. Kalau beruntung, hujan akan turun dan kau akan kuseret ke dalam agar tidak kebasahan. Kau belum lupa alamat rumahku, 'kan?

Sekarang aku tinggal sendirian, Dev. Ibuku... Beliau sudah meninggal beberapa hari yang lalu karena penyakit asma yang dideritanya. Tapi aku tahu, beliau meninggal karena terlalu sedih memikirkanku. Aku sedih karena belum sempat membuatnya bahagia. Belum sempat memenuhi keinginannya untuk menikah.

Aku tidak bisa menikah selain dengan dirimu dan tidak ada orang yang mau menikah denganku, Dev. Kau tahu kenapa? Karena aku sakit...

Sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakannya padamu, tapi aku tidak berani. Aku terlalu malu dan takut. Beberapa tahun yang lalu Dokter bilang aku terkena leukimia. Kau tahu betapa mengerikan penyakit itu? Aku tidak akan menceritakan bagaimana rasa sakit yang kualami karena aku hanya ingin membagi kebahagiaanku bersamamu.

Mungkin umurku tidak lama lagi, itu yang dokter katakan. Tapi, mereka bukan Tuhan, 'kan? Mereka tidak akan pernah tahu kapan pasiennya akan mati. Tapi Tuhan tahu, dan aku selalu berdo'a agar aku bisa bertemu denganmu sebelum aku mati.

Mungkin kau akan kaget saat melihatku nanti, aku sudah berhijab. Aku selalu mengatakan ingin berhijab setelah kita menikah nanti, kau ingat, 'kan, Devan? Tapi, kupikir tidak ada salahnya menutup diri lebih cepat supaya nanti terbiasa.

Rambutku sudah hampir botak, seperti para pasien leukimia lainnya yang menjalani kemoterapi. Tapi aku berhijab bukan untuk menutupi rambut botakku, sungguh. Aku ikhlas karena panggilan hati, mungkin inilah yang disebut hidayah.

Berat tubuhku sudah menyusut lebih dari 20 kg, jadi kau tidak akan menyebutku gendut lagi. Meskipun berat 55 kg tidak termasuk gendut, tapi aku tahu kau hanya ingin menggodaku karena kau selalu marah kalau aku diet.

Sudah dulu ya, Devan. Aku harus melanjutkan menulis novelku. Kau tahu apa yang sedang kutulis sekarang? Aku menulis tentang kamu, aku dan hujan. Penerbit yang menaungiku bilang kalau novelku kali ini akan jadi best seller. Do'akan aku ya, Dev.

Salam sayang selalu.

Nesa

p.s: Cepat pulang, Devan! Aku merindukanmu. Amat sangat merindukanmu.

Love u 4ever.

Nesa melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop biru muda bergambar tetesan hujan. Ia menarik laci meja kerjanya yang paling atas, dan menaruh suratnya bersama surat-surat untuk Devan lainnya yang tidak pernah ia kirimkan. Ia sama sekali buta tentang keadaan Devan tapi Nesa yakin, Devannya itu kuat. Dia akan baik-baik saja.

Laptopnya kembali menyala, tapi alih-alih menulis, dia malah beranjak menuju teras. Hujan masih turun dan itu cukup untuk menghibur hatinya.

Ia melangkah lebih keluar, menengadah dan tetesan hujan membasahi wajahnya. Nesa tidak bermaksud untuk menghindar, ia malah berlari keluar sehingga pakaiannya basah kuyup. Tapi, ia tidak peduli. Cuma dengan cara ini kerinduannya pada Devan akan sedikit terobati.

"Devan, aku sudah hampir lelah menunggu. Cepat pulang atau kau akan menyesal!" desisnya kepada hujan, berharap hujan akan menyampaikan pesannya itu kepada Devan.

-

Rinai hujan basahi aku

Temani sepi yang mengendap

Kala aku mengingatmu

Dan semua saat manis itu

Segalanya seperti mimpi

Kujalani hidup sendiri

Andai waktu berganti

Aku tetap tak 'kan berubah

Aku selalu bahagia

Saat hujan turun

Karena aku dapat mengenangmu

Untukku sendiri

Selalu ada cerita

Tersimpan di hatiku

Tentang kau dan hujan

Tentang cinta kita

Yang mengalir seperti air

Aku bisa tersenyum

Sepanjang hari

Karena hujan pernah

Menahanmu di sini

Untukku

Utopia - Hujan

TBC


Menanti Hujan di Ambang KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang