Gerimis mulai turun perlahan, menyibak debu dan kotoran yang menempel di daun-daun pohon akasia yang ditanam di halaman rumah sakit. Sepertinya musim hujan akan segera datang lagi.
"Nes," sebuah teguran halus membuyarkan lamunan Nesa dan mengembalikannya ke ruang dokter, di mana ia sekarang berada.
"Mungkin ada baiknya kalau kau dirawat intensif di sini," kata dokter berusia sekitar 35 tahunan itu.
Nesa hanya tersenyum sekilas dengan raut sendu, "Dokter Raffie sudah tahu pasti apa jawaban saya."
Pria yang dipanggil dokter Raffie itu menghela napas berat lalu membetulkan letak kacamatanya yang mulai terasa tidak nyaman.
"Jangan sia-siakan hidupmu untuk seseorang yang belum tentu kembali, Nes," ucap Raffie pelan. "Aku mengatakan ini sebagai teman, bukan sebagai dokter pribadimu," ujarnya menambahkan.
"Aku mengerti, Raf. Tapi hatiku sangat yakin kalau Devan akan kembali, dia pasti kembali!" tandasnya mantap.
"Kalau begitu kau harus bersedia untuk dirawat, demi Devan," pinta Raffie memohon.
Nesa menggeleng samar, "Kalau aku dirawat, Devan tidak akan bisa menemukanku. Dia berjanji akan menemuiku di taman itu, karena itu aku akan selalu menunggunya di sana."
"Kau tahu, aku sangat iri pada Devan. Dia beruntung dicintai oleh wanita sepertimu," ucap Raffie tulus.
Nesa tersenyum, senyum yang sangat Raffie sukai sejak dulu. Tiba-tiba ia sudah tidak bisa menahannya lagi, ia merasa sudah waktunya untuk mengatakannya meskipun ia sudah tidak punya harapan.
"Nes, aku juga mau dicintai seperti Devan," kata Raffie.
"Apa maksudmu?" tanya Nesa tidak mengerti.
"Aku ingin kau mencintaiku, sama seperti kau mencintainya. Oke, mungkin tidak akan sebesar cintamu padanya. Tapi, ijinkan aku untuk melindungimu sampai Devan kembali," jawab Raffie gugup, gadis berkerudung biru muda itu selalu berhasil mencuri semua ketenangannya setiap kali mereka berhadapan.
Nesa memandang pria yang dulu menjadi juniornya waktu SMA ini lekat-lekat. Wajahnya memancarkan ketulusan dan ketegasan, wajah yang tampan dan karismatik. Nesa yakin ia bisa mendapatkan gadis mana pun yang ia sukai dengan mudah, tapi pria ini malah mengatakan cinta padanya padahal dia tahu bagaimana kondisinya.
"Aku tidak butuh dikasihani, Raf," kata Nesa tegas, ia sudah siap untuk berdiri.
"Tunggu, tunggu, Nes! Jangan pergi! Kau salah paham, aku tidak pernah mengasihanimu. Justru aku sangat kagum padamu, dari dulu," tukas Raffie sambil menarik tangan Nesa agar kembali duduk.
Gadis itu menurut dan menunggu kelanjutan kata-kata Raffie yang menurutnya gila tersebut.
"Sebut saja aku gila, tapi, aku benar-benar kagum padamu sejak aku pertama kali masuk SMA yang sama denganmu. Waktu itu aku dua tingkat dibawahmu, aku sering sekali memandangimu secara diam-diam tanpa berani menyapamu. Aku tahu, aku hanya junior yang tidak akan dilirik olehmu." Raffie berhenti untuk mengamati ekspresi Nesa yang tidak terbaca.
"Selama setahun aku selalu mendekatimu, berusaha menjadi bayanganmu tanpa kau sadari. Lalu, ketika kau lulus baru kusadari betapa bodohnya aku. Seharusnya aku mengatakannya, aku mencintaimu, Nes," lanjutnya.
"Itu hanya cinta monyet jaman SMA, Raf. Sekarang sudah dua puluh tahun berlalu," komentar Nesa dingin.
"Tapi, kau tidak tahu kan kalau aku selalu mengikutimu bahkan sampai kau kuliah? Aku tahu kau berpacaran dengan Devan dan memutuskan untuk berhenti mengharapkanmu."
Nesa terkesiap, jadi Raffie bahkan bertindak sampai sejauh itu?
"Aku sangat terkejut ketika beberapa tahun yang lalu kau datang ke rumah sakit ini karena penyakit yang kau derita. Aku bahkan sangat terpukul mendengar ceritamu tentang Devan. Pria itu meninggalkanmu begitu saja..."
"Cukup! Kau tidak berhak berkomentar apa pun tentangnya," potong Nesa cepat.
Raffie tersenyum miris, Nesa bahkan masih membelanya seperti saat ini. Tiba-tiba ia merasa malu karena berharap bisa membuat Nesa berpaling padanya."Maafkan aku," sesal Raffie, "Aku memang tidak berhak mengatakan apa pun tentangnya karena aku tidak mengenal dia sebaik dirimu."
"Tidak apa-apa, aku janji kalau kau adalah orang pertama yang akan kupertemukan dengannya kalau nanti Devan kembali," ucap Nesa dengan wajah berseri.
Raffie hanya tersenyum dan mengangguk. 'Kau bahkan terlihat sangat bahagia hanya dengan menyebut namanya saja, Nes,' ratap Raffie dalam hati.
"Kau juga harus berjanji satu hal padaku," pinta Nesa.
"Apa itu?"
"Carilah gadis yang dihatinya tidak ada orang lain selain dirimu," jawab Nesa yang dibalas dengan anggukan oleh Raffie.
"Ayo, kuantar kau ke taman. Kau harus menunggu Devan, kan?" ajak Raffie.
Nesa mengangguk setuju dan memandang langit kelabu yang belum sepenuhnya menumpahkan isinya ke bumi.
Hujan akan turun lagi, Devan. Datanglah seperti janjimu, bisik hati kecil Nesa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Menanti Hujan di Ambang Kematian
RomanceJangan salahkan cinta ketika berbuat diluar logika. Saat pilihan demi pilihan datang silih berganti, takkan ada yang bisa menggoyahkannya. Karena saat kita sudah memilih, kita tak akan bisa kembali. "Aku akan datang bersama hujan." Kata-kata itulah...