"Kak, lihat! Keren sekali ya?!"
Suara Debby melengking tinggi, khas anak perempuan usia 8 tahun. Jari-jemarinya menunjuk ke atas. Sesekali ia rentangkan tangannya. Lebar. Imajinasi menyuruhnya merengkuh segala yang ia lihat tak peduli seberapa jauh pun jarak yang terbentang.
Ah..Debby. Ia mudah sekali terkagum-kagum karena hal sekecil dan seremeh apapun: Kupu-kupu indah yang beraneka warna, langit yang membiru dan menghitam dalam beberapa jam, kucing kampung tetangga yang sebelah telinganya putus karena kalah bertarung, aku yang paling suka minum kopi pahit. Apapun, Ia akan memekik mengekspresikan kekagumannya, sambil kaki kecilnya menandak-nandak seperti berper. Apa itu namanya? Tabula rasa? Iya. Bak kertas putih polos yang seolah menunggu untuk digambari dan diwarnai. Merah, kuning, biru, hijau. Tetapi kali ini bukan hal kecil yang membuatnya meletup riang.
"Iya, dek. Keren memang."
Kusebarkan pandangan ke atas. Langit malam. Meteor sedang berpesta-pora. Menu utamanya adalah atraksi cahaya magis nan spektakuler. Mereka sedang berdansa dengan indahnya, bergerak luar biasa cepat mengikuti lantunan irama yang tak bisa didengar manusia. Jalur tiap titik cahaya berpendar-pendar dalam satu garis lurus sempurna. Tak ada yang melenceng keluar alur, tak ada yang berbelok di tengah jalan, tak ada berbalik berubah pikiran. Kalau saja manusia bisa seyakin itu dengan tujuan hidupnya, alangkah indahnya.
Kedua tanganku melingkar di pinggang adikku. Kukecup ubun-ubun kepalanya. Rambutnya hitam ikal, seperti ibu. Tercium arum shampo Dee-dee rasa strawberry kesukannya. Ia masih berceloteh ribut. Bibirnya membentuk seru-seruan bertubi-tubi. Kepala mungilnya tersentak ke kiri dan kanan, mencoba melahap setiap detik pertunjukan langit dengan rakusnya. Dadaku terasa hangat. Nyaman dan damai. Mana bisa tidak?
"Debby suka?"
Ia mengangguk cepat tiga-empat kali tanpa repot-repot menjawab apalagi menolehku. Aku mengacak-acak rambutnya.
"Kenapa bintang-bintang itu jatuh, kak?"
Ia menolehku. Matanya berkilat-kilat. Sedikit kerutan melukis dahinya. Aku terdiam sejenak sambil otakku merancang jawaban yang bisa dimengertinya.
"Mereka bukan bintang, tapi bebatuan. Namanya meteor. Mereka juga enggak jatuh, tapi cuma..pindah tempat aja."
"Kenapa?"
Kali ini giliran keningku yang berkerut.
"Mereka selalu gerak, selalu pindah. Mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain. Kebetulan aja sekarang kita bisa lihat mereka."
Debby terdiam. Ia anak yang cerdas, selalu ingin tahu. Tapi mungkin penjelasan sederhana itu pun masih terlalu rumit baginya.
"Kenapa harus pindah? Kenapa enggak tinggal aja di tempat yang sama seterusnya? Kenapa harus pisah-pisah?"
Suaranya tercekat. Ia tak lagi membicarakan meteor. Hilang sudah semangat yang sebelumnya menguar pekat dari tiap silabel yang ia ucapkan. Hilang sudah rasa hangat yang tadi bersemayam di dadaku.
Debby mencengkram tanganku erat-erat. Matanya menatap lurus mataku. Sesuatu mengambang di situ, semakin lama semakin berat, mengancam untuk jatuh berderai. Aku memalingkan wajah, tak sanggup membayangkan betapa rapuh bendungan emosi anak seusianya. Pondasi yang ternyata tak sanggup kuperkuat, walau sudah berkali-kali kucoba. Demi Tuhan, sungguh kusudah berusaha.
Ia meminta jawaban. Aku tidak bisa memberikannya. Aku juga tidak tahu apakah ada jawabannya. Bahkan ayah dan ibu yang sudah dewasa pun tidak tahu. Mana mungkin anak ingusan sepertiku tahu?
"Kakak enggak tahu, dek."
Aku tak berani menghadap wajahnya maupun pertanyaannya. Kedua bola mataku masih menatap ujung roknya yang berbunga-bunga, menghitungi tiap simpul rajutan benang, merutuki nasibku dan nasibnya.
Debby melepas cengkramannya dan berbalik memunggungiku. Kembali ia mendongak menatap langit. Pesta cahaya hampir usai, para penarinya mulai kehilangan tenaga, hitam malam pun mulai terasa. Aku jadi bisa sedikit bernapas lega karena tak perlu lagi menatap matanya.
Sepuluh menit berlalu dalam diam, dalam hening yang entah melegakan atau menyakitkan, aku tak paham lagi bedanya. Langit telah benar-benar kembali tenang. Malam telah larut. Lembut, kuajak Debby masuk ke dalam rumah. Ia menurut, tak merajuk seperti biasa ketika kusuruh tidur.
Aku tak bisa nyenyak terlelap malam itu. Pikiranku diserang banyak hal. Rangkaian kalimat tak putus-putus yang selalu diawali dengan "bagaimana jika". Terkadang, "kalau saja" juga juga ikut terselip dalam skenario fiktif yang tak lelah-lelahnya kurajut. Lalu Debby. Tentu saja seluruh bayang itu selalu berujung padanya. Debby yang diantar sekolah oleh ayah. Debby yang dibuatkan kue ulang tahun oleh ibu. Debby yang selalu minta didekap ketika ia takut dihantui monster dan nenek sihir jahat. Debby yang suka mengelus-elus janggut ayah saat ia selesai bercukur.
Debby. Debby. Debby.
Keesokan paginya, aku terbangun sendirian di rumah. Ayah sudah lama tak pulang, mencari ketenangan di tempat lain. Ibu sering menginap di tempat adiknya, tanteku, rumahnya sumber ketenangan ibu. Tetapi Debby, ia tidak ada di kamarnya. Kutemukan secarik kertas bertuliskan dua baris kalimat di atas bantalnya, ditulis dengan huruf tegak bersambung yang sangat kukenal:
Kak Ardi, bukan cuma ayah, ibu dan meteyor aja yang bisa pergi. Debby juga bisa!
Saat itu juga kurasakan langit runtuh menimpaku.
***
Note:
Maunya sih bikin semacam flash fiction di bawah 700-an kata tapi tetep efektif menyampaikan maksud kisah. Dan ada "kebulatan" dari awal hingga akhir. Secara pribadi suka sama hubungan kakak-adik begini (karena saya anak bungsu ga punya adik tapi pengen punya) meskipun enggak tau sukses atau gagal bikin kisah yang emosional. Saya serahkan ke pembaca saja untuk itu :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Chopper Stories: An Anthology
Historia CortaSebuah antologi cerpen berbagai genre, tema, POV, teknik, dll yang saya tulis khusus untuk eksplorasi & eksperimentasi diri. (Always On Going) Gazillion thanks to @farfalla- for the cover! :))